Jumat, 11 Februari 2011

PENGANTAR DALIL-DALIL SYARIAH DALAM ILMU USHUL FIQH

Pengertian Dalil

Sebelum membahas tentang pembagian dalil kiranya penulis akan memberikan definisi dalil menurut para ulama’:

Secara etimology bermakna menunjukkan ataupun memberi tahu jalan.[1] Seperti dalam hadits:

قَالَ سَأَلْنَا حُذَيْفَةَ عَنْ رَجُلٍ قَرِيبِ السَّمْتِ وَالْهَدْىِ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - حَتَّى نَأْخُذَ عَنْهُ فَقَالَ مَا أَعْرِفُ أَحَدًا أَقْرَبَ سَمْتًا وَهَدْيًا وَدَلاًّ بِالنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - مِنِ ابْنِ أُمِّ عَبْد

Artinya: Sewaktu kami bertanya pada sahabat Hudzaifah ra tentang sosok manusia yang jelas maksudnya dan petunjuknya yang dekat dengan Rasulullah SAW sehingga kami bisa belajar darinya, Hudzaifah ra berkata: “Saya belum pernah melihat seseorang yang jelas maksud, petunjuk dan pengarahannya dari Nabi Saw selain dari Fatimah ra.”. [2]

Sedangkan dalil secara terminology: ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري artinya: “Sesuatu yang memungkinkan untuk sampai (pada maksud) melalui pandangan yang benar dalam menetapkan hukum Islam”. [3]

Maksudnya adalah sesuatu yang memungkinkan untuk sampai pada masuknya dalil yang belum diperhatikan oleh mujtahid dalam menemukan hukum baru. Hal ini merupakan dalil meskipun belum ditunjukkan secara nyata, hal ini masih berbentuk kemungkinan-kemungkinan. Karena dalil adalah sesuatu yang berhasil menghantarkan kepada maksud secara nyata.

Yang dimaksud pandangan yang benar adalah pandangan yang tidak rusak apalagi salah sehingga bisa menghasilkan hukum yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan.

Pertama: Pembagian Dalil Berdasarkan Sumbernya.

Dalam semua pembahasan berkaitan dengan dalil maka para ulama telah sepakat bahwa dalil yang disepakati oleh para ulama terdiri dari empat dalil: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas.[4] Hal itu ditegaskan oleh Imam syafi’i yang menyatakan: ”Kedudukan ilmu harus berdasarkan kepada: Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas”.[5] Dan ada kesepakatan ulama mengenai sumber asal empat dalil diatas harus bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dikarenakan hal ini berhubungan langsung dengan tegaknya agama Islam. [6]

Dengan demikian dalil-dalil baik yang disepakati maupun masih diperselisihkan yang ada dalam syariah harus bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, apabila menetapkan hukum tanpa terlebih dahulu menyandarkan pada kedua dalil tersebut maka harus ditolak dan dibatalkan demi hukum. Karena kedua dalil tersebut berdasarkan atas wahyu, dan wahyu dari Allah selalu benar dan tidak pernah bertentangan satu sama lainnya. Dan sumber dari segala dalil adalah Al-Qur’an.

Imam Ibn Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum syariah adalah Rasulullah SAW, karena Al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah SAW, dan As-Sunnah muncul sebagai penjelas dari Al-Qur’an, kedudukan ijma’ dan qiyas harus disandarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah”. [7]

Penjelasan diatas memungkinkan kita untuk menyatakan bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber segala dalil yang disepakati keberadaannya, karena keduanya dapat disebut sebagai dalil naqli, wahyu, syara’, nash, khabar dan semuanya itu kebalikan dari dalil ‘aqli, pendapat, ijtihad, istinbath hukum.

Karakteristik Dalil Al-Qur’an Dan As-Sunnah

Dibawah ini dapat dilihat, bahwa kedua sumber tersebut mempunyai karakteristik yang kuat dalam syariah:

1. Semuanya berdasar atas wahyu Allah kepada Rasulullah. [8]

Artinya: “Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.[9]

2. Sumber awal dari Al-Qur’an diperoleh dari Rasulullah SAW, karena kita tidak mendapatkan wahyu langsung dari Allah, tidak juga melalui Malaikat Jibril as, karena hanya Rasulullah yang mendapatkan wahyu, dan beliaulah yang berkewajiban menyampaikannya kepada kita. [10]

Artinya: “Dan Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya)”.[11]

3. Allah SWT menjamin keaslian dan kemurnian Al-Qur’an sebagai sumber hukum selamanya. [12]

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.[13]

4. Allah SWT menurunkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum untuk hamba-hambanya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. [14]

Artinya: “Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam”.[15]

5. Kewajiban bagi umat Islam untuk mengikuti dan berpedoman pada kedua sumber hukum tersebut selama-lamanya, dan tidak diperbolehkan untuk meninggalkannya apalagi mengingkarinya.[16] Ibn Taimiyah menyatakan: “Sumber hukum yang wajib dijadikan pedoman adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’. Semuanya berisi kebenaran, dan tidak ada kebatilan sama sekali didalamnya. Dan umat Islam tidak boleh meninggalkannya dalam keadaan dan alasan apapun, hal ini disebabkan Al-Qur’an dan As-Sunnah datang dari Rasulullah SAW dan umat Islam wajib mengikutinya, apabila meninggalkan apalagi mengingkarinya maka orang tersebut telah menjadi kafir atau munafik”. [17]

6. Dan lain sebagainya.

Kedua: Pembagian Dalil Berdasarkan Qath’i Dan Dzanni

1. Pengertian qath’i dan dzanni

Pertama: Secara etimology qath’i dari kata qatha’a yang bermakna memisahkan bagian tubuh dengan cara menghilangkannya atau memotongnya.[18] Tetapi dalam pembahasan ini kata qath’i bermakna keyakinan, kepastian, sesuatu yang bersifat tetap.[19]

Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”. [20]

Kedua: Secara etimology dzanni bermakna dugaan, persangkaan, sesuatu yang masih membingungkan. [21]

Sedangkan secara terminology bermakna ”Sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. [22]

2. Dalil qath’i dan dzanni

Pertama: Dalil qath’i adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum yang bersifat pasti dan tetap tanpa ada kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya.[23] Atau bisa juga diartikan: ”sesuatu yang pasti baik dilihat dari segi sanad, dalalah dan sifatnya yang tetap”. [24] Ada yang menambahkan: “qath’i adalah sesuatu yang pasti dilihat dari segi matan dan dalalahnya”. [25]

Contoh:

Artinya: “Maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.[26]

Ayat ini menunjukkan bahwa hitungan hari untuk melaksanakan puasa tersebut wajib untuk dilakukan, hal ini disebut sebagai dalil qath’i.

Menurut imam Syafi’i: “Apabila ada nash Al-Qur’an yang sudah jelas dan terang hukumnya, atau apabila ada As-Sunnah yang disepakati keberadaannya, maka keberadaan keduanya bersifat qath’i, dan tidak diperbolehkan meragukannya, sehingga jika ada orang yang menolak untuk menerima nash tersebut dihukumi sebagai orang yang cacat akalnya”. [27] Maksudnya adalah apabila ada yang menolak keberadaan nash yang qath’i maka harus dapat memilah apakah sebagian dari nash tersebut sanadnya bersifat qath’i atau tidak? Apakah nash tersebut dalalahnya bersifat qath’i atau tidak?. Hal ini memberikan pemahaman bahwa penelitian dalil nash merupakan penelitian yang harus tepat dan benar, tidak boleh mengikutkan hawa nafsunya sehingga nash tersebut dapat dinilai qath’i atau tidak yang nantinya dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum. [28]

Kedua: Dalil dzanni adalah sesuatu yang menunjukkan pada hukum tetapi masih mengandung kemungkinan-kemungkinan yang bisa merubahnya tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.[29] Makna lainnya adalah: ”dalalah yang ada merupakan dzahirnya nash yang tidak qath’i”. [30]

Contoh:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”.[31]

Ayat ini mempunyai dalalah dzahir yakni ucapan “menyebut-nyebut dan menyakiti perasaan” akan membatalkan shadaqah dan menghilangkan pahalanya. Hal ini memunculkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak dapat dimenangkan salah satunya, bahwa sadaqah tidak jadi batal kecuali berkumpulnya kedua ucapan tersebut. Sehingga apabila hanya mengucapkan salah satunya masih diragukan status hukumnya apakah batal atau tidak? Mendapatkan pahala atau tidak?. Inilah yang dimaksud dengan dalil dzanni.

Apabila dilihat dari segi pengamalannya maka tetap berhukum wajib untuk mengamalkan dalil dzanni dalam syariah hal ini didasarkan atas kesepakatan ulama, dan tidak ada perbedaan antara mengamalkan dan nilai ilmiah dari dalil dzanni. Sedangkan masalah akidah bisa menjadi hukum tetap meskipun menggunakan dalil dzanni. [32]

Imam Syafi’i menyatakan: “Apabila dalam nash As-Sunnah terdapat perbedaan dalam segi maknanya, maka hal ini dimungkinkan untuk di ta’wil. Atau apabila ada hadits ahad, maka masih dapat dijadikan hujjah sehingga hadits ini tidak tertolak, terbuang begitu saja dan tidak dimanfaatkan oleh umat Islam”. [33]

Ketiga: Pembagian Dalil Berdasarkan Cara Pengambilannya

Dalil dalam hukum Islam dapat dibagi menjadi dua; dalil syar’i dan bukan syar’i:

Dalil syar’i adalah dalil yang diperintahkan, ditunjukkan atau direkomendasikan oleh syara’. [34]

Dalil bukan syar’i adalah anonym dari dalil syar’i. Dalil ini dapat berupa dalil yang unggul maupun diunggulkan, dalil shahih maupun rusak, ‘aqli maupun sam’i. dalil yang bukan syar’i ini bisa datang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti: berbuat, berkata dan memutuskan hukum tanpa pengetahuan. [35]

Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”.[36] Ayat ini menerangkan ketidak bolehan untuk berbuat, berbicara dan menetapkan sesuatu tanpa mempunyai pengetahuan yang memadai. [37]

Atau berdebat dengan masalah yang sudah nyata kebenarannya.

Artinya: “Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti menang)”.[38] Ayat ini menunjukkan ketidak bolehan berdebat tentang kebenaran yang sudah jelas keberadaannya.

Dalil syar’i dibagi menjadi tiga:

1. Dalil yang ditetapkan oleh syara’ yang hadir melalui pendengaran (audio) dan kutipan (migrasi), dalil ini disebut dengan dalil sima’i (dalil yang diperoleh melalui pendengaran) dan dalil ini tidak dapat diperoleh melalui penelitian dan logika. Contohnya adalah berita yang datang dari malaikat dan penghuni ’Arsy, permasalahan akidah, perintah dan larangan. Semuanya itu dapat kita ketahui melalui hadits Rasulullah SAW saja.

2. Dalil yang keberadaannya ditunjukkan dan yang diperingatkan oleh syara’. Dalil ini disebut dengan dalil ’aqli. Contohnya dalam masalah perumpamaan, penetapan keNabian dan penetapan hari kebangkitan.

Artinya: “Dan Sesungguhnya telah Kami buat dalam Al Quran ini segala macam perumpamaan untuk manusia”.[39] Ayat ini berhubungan dengan methode qiyas, karena berisi tentang masalah perumpamaan atau juga menganalogikan.

Artinya: “Katakanlah: "Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak membacakannya kepadamu dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu". Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa lama sebelumnya. Maka Apakah kamu tidak memikirkannya?”.[40] Ayat ini berhubungan dengan penetapan keNabian Rasulullah SAW.

Artinya: “Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk”.[41] Ayat ini berhubungan dengan penetapan hari kebangkitan.

3. Dalil yang diperbolehkan dan direkomendasikan oleh syara’. Dalil yang dimaksud disini adalah segala yang tertuang dalam hadits Rasulullah SAW dalam bentuk ilmu kedokteran, kimia, matematika, tehnologi dan sebagainya.

Dalil syar’i ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Dalil ini benar keberadaannya.

2. Dalil syar’i diutamakan daripada dalil yang bukan syar’i.

3. Dalil syar’i berupa dalil sam’i dan ’aqli.

4. Dalil syar’i berbeda dengan dalil yang bukan syar’i. [42]

Penutup

Demikian pembahasan yang berkaitan dengan dalil-dalil dalam hukum Islam. Pembahasan yang dimulai dari dalil secara global, pembagian dalil berdasarkan sumbernya, pembagian dalil berdasarkan qath’i dan dzanni, dan pembagian dalil berdasarkan cara pengambilannya.

Pembahasan ini sangat diperlukan untuk mengetahui dalil-dalil yang akan dipergunakan untuk melakukan istinbath hukum. Apabila mengetahui dalil dengan benar, maka akan mendapatkan keputusan hukum yang benar pula. Semoga bermanfaat.

Daftar pustaka

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. (Surabaya: PT Mahkota, 2004 M)

Al-Amidy, Ali bin Muhammad. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 1984 M)

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H)

Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Abu Mohannadl An-Najdi, 1427)

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat. (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H)

Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th)

Ar-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar bin Abdulkadir. Mukhtar Ash-Shihhah. (Beirut: Maktabah Lebanon, 1995M)

As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th)

Asy-Syafi’i, Muhammad Bin Idris, Abu Abdullah. Ar-Risalah. (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th)

Ibn Abd Al-Bar, Yusuf Bin Abdullah, Abu Umar. Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th)

Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad Bin Abi Bakar, Abu Abdullah. Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ’ala Al-Jahmiyah Wa Al-Muthla’ah. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1405 H)

Ibn An-Najjar, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz, Al-Futuhi. Syarah Al-Kaukab Al-Munir. ( Mekkah: Markaz Al-Bahts Al-‘Ilmi Jamiah Umm Al-Qura, t.th)

Ibn Mandzur, Muhammad bin Mukarrim. Lisan Al-Arab. (Beirut: Dar Shadr, t.th)

Ibn Hajar Al-’Asqalani, Ahmad Bin Ali, Abu Al-Fadlil. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari. (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1379 H)

Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Majmu’ Al-Fatawa. (Mekkah: Maktabah An-Nahdlah Al-Hadits, 1404 H)

Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Alfaqihu Jahlahu, (Riyadh: Maktabah Al-Mamlakat Al-Arabiya, t.th) hal. 53.

www.al-Islam.com buku Hasyiyah Al-‘Athar ala Syarh Al-Jalal Al-Mahalli Ala Jam’u Al-Jawami’.



[1] Ar-Razi, Muhammad Bin Abi Bakar bin Abdulkadir. Mukhtar Ash-Shihhah. (Beirut: Maktabah Lebanon, 1995M) hal 218.

[2] Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H) Juz 3 hal 1373. Ibn Hajar Al-’Asqalani, Ahmad Bin Ali, Abu Al-Fadlil. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari. (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1379 H) Juz 17 hal 272.

[3] Al-Amidy, Ali bin Muhammad. Al-Ihkam Fi Ushul Al-Ahkam. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi, 1984 M). juz 1 hal 13.

[4] Ibn An-Najjar, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz, Al-Futuhi. Syarah Al-Kaukab Al-Munir. ( Mekkah: Markaz Al-Bahts Al-‘Ilmi Jamiah Umm Al-Qura, t.th) juz 2 hal 5.

[5] Asy-Syafi’i, Muhammad Bin Idris, Abu Abdullah. Ar-Risalah. (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th) hal. 39.

[6] Ibn Abd Al-Bar, Yusuf Bin Abdullah, Abu Umar. Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, t.th) juz 2 hal. 110.

[7] Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Majmu’ Al-Fatawa. (Mekkah: Maktabah An-Nahdlah Al-Hadits, 1404 H). Juz 7 hal. 40.

[8] Asy-Syafi’i. Ar-Risalah. hal. 33.

[9] Surat An-Najm: 3-4.

[10] Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad Bin Abi Bakar, Abu Abdullah. Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ’ala Al-Jahmiyah Wa Al-Muthla’ah. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1405 H) hal. 463.

[11] Surat Al-An’am: 19.

[12] Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah. Mukhtashar Ash-Shawa’iq. hal. 463.

[13] Surat Al-Hijr: 9.

[14] Asy-Syafi’i. Ar-Risalah. hal. 221.

[15] Surat Al-Furqon: 1.

[16] Ibn Abd Al-Bar. Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi. juz 2 hal. 190.

[17] Ibn Taimiyyah. Majmu’ Al-Fatawa. Juz 19 hal. 5-6.

[18] Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat. (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H) hal 57.

[19] Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Abu Mohannadl An-Najdi, 1427) hal. 74.

[20] As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th) hal. 58.

[21] Ibn Mandzur, Muhammad bin Mukarrim. Lisan Al-Arab. (Beirut: Dar Shadr, t.th) juz 13 hal. 272.

[22] Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 168.

[23] Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Alfaqihu Jahlahu, (Riyadh: Maktabah Al-Mamlakat Al-Arabiya, t.th) hal. 53.

[24] Al-Jizani. Ma’alim Ushul Al-Fiqh. hal. 77.

[25] www.al-Islam.com buku Hasyiyah Al-‘Athar ala Syarh Al-Jalal Al-Mahalli Ala Jam’u Al-Jawami’. Juz 5 hal. 109.

[26] Surat Al-Baqarah: 196.

[27] Asy-Syafi’i. Ar-Risalah. hal. 461.

[28] Ibn Taimiyyah. Majmu’ Al-Fatawa. Juz 20 hal. 257.

[29] Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh. hal. 53.

[30] Al-Jizani. Ma’alim Ushul Al-Fiqh. hal. 77.

[31] Surat Al-Baqarah: 264.

[32] Ibn Taimiyyah. Majmu’ Al-Fatawa. Juz 20 hal. 286.

[33] Asy-Syafi’i. Ar-Risalah. hal. 461.

[34] Ibn Taimiyyah. Majmu’ Al-Fatawa. Juz 19 hal. 228.

[35] Al-Jizani. Ma’alim Ushul Al-Fiqh. hal. 86.

[36] Surat Al-Isra': 36.

[37] Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th) Juz 10 hal 257.

[38] Surat Al-Anfal: 6.

[39] Surat Ar-rum: 58.

[40] Surat Yunus: 16.

[41] Surat Yasin: 79.

[42] Al-Jizani. Ma’alim Ushul Al-Fiqh. hal. 87.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum
    Syukran atas ilmunya
    Semoga kita selalu dalam rahmat Allah SWT.
    Kunjungi juga ya blog kami

    https://seruankemuliaan.blogspot.co.id/

    Kumpulan pengetahuan Islami kini dan masa depan

    BalasHapus