Senin, 30 Mei 2011

PENGEMBANGAN HOTEL SYARIAH DI INDONESIA: Mengonsep Pariwisata yang Islami

Abstrak :

Pembangunan sektor pariwisata di Indonesia terlihat berkembang cukup pesat dan mencapai angka yang signifikan, Salah satunya adalah pembangunan sektor perhotelan di satu sisi mampu memberikan keuntungan ekonomis yang terbilang cukup tinggi, sehingga mampu membawa pengaruh pada pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hotel syarî’ah adalah salah satu model hotel yang menawarkan berbagai fasilitas yang sesuai dengan nilai Islam, sehingga apabila dikembangkan akan membuka peluang pasar yang cukup menjanjikan, tentu saja tanpa bisnis perzinahan, alkohol dan narkoba. Justru dengan konsep syariat ini, tamu atau keluarga merasa nyaman dan aman menginap. Tidak adanya alkohol atau tempat hiburan yang berbau maksiat, maka kenyamanan mereka jadi terjaga.

Kata kunci : Hotel, Pariwisata dan Syarî’ah


Pendahuluan:

Sebagaimana dilangsir banyak media, pariwisata merupakan salah satu devisa terbesar bagi Negara Indonesia, hal ini menjadikan Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik Indonesia untuk mencanangkan visit Indonesia 2010. Dengan mengandalkan berbagai pesona wisata alam, seni, budaya dan religi yang menyebar di seluruh penjuru nusantara mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Sehingga pemerintah pusat juga memacu pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas dan fasilitas tempat wisata untuk menambah jumlah wisatawan yang berkunjung.[1]

Selanjutnya, pembangunan sektor pariwisata di Indonesia terlihat berkembang cukup pesat dan mencapai angka yang signifikan, sehingga mampu untuk menunjang pembangunan nasional secara keseluruhan. Kita dapat mengetahui dari semakin besarnya devisa yang dihasilkan dari sektor ini. Terlebih jika melihat berkembangnya geliat pariwisata yang semakin hari semakin marak ditandai dengan munculnya berbagai bisnis di sekitar dunia pariwisata seperti bisnis perhotelan, bisnis rumah makan, bisnis perjalanan wisata, dan bisnis souvenir khas daerah. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mendukung suksesnya pariwisata di Indonesia dalam meningkatkan devisa negara maka diperlukan sumber daya manusia yang tinggi.

Atmosfir di dunia pariwisata ini di satu sisi memberikan keuntungan ekonomis yang terbilang cukup tinggi, sehingga mampu membawa pengaruh pada pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan adanya kunjungan wisatawan lokal maupun asing dapat mendukung pendapatan bagi sejumlah orang mulai para pemandu wisata, tukang ojek, tukang parkir, sampai dengan para pedagang. Sehingga dunia pariwisata tidak hanya sekedar memberikan keuntungan bagi pemilik usaha bidang pariwisata tetapi juga mampu membuka peluang kerja bagi masyarakat di luar sektor pariwisata.

Akan tetapi sangat disayangkan apabila ada alasan tuntutan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, nilai luhur agama dan adat terabaikan. Seperti, demi meningkatkan pemasukan hotel, sejumlah hotel mengabaikan syarat-syarat bagi pengunjung hotel yang bukan suami istri untuk menginap, kamar “short time”, menyediakan pekerja seks komersil, perjudian, minuman keras dan narkoba. Hal ini mengakibatkan pola hidup dan perilaku sejumlah anggota masyarakat di sekitar obyek wisata menjadi menyimpang dari pola hidup dan perilaku aslinya. Dan tidak sedikit diantara mereka yang rela mengorbankan kode etik dan sopan santun untuk mengumpulkan keuntungan secara finansial. Seperti, ada sebagian orang yang berusaha keras sebagai perantara hotel untuk merayu para wisatawan untuk menginap dengan harapan orang tersebut memperoleh bonus dari pemilik hotel, ada pula yang secara terang-terangan menawarkan diri sebagai wali nikah mut’ah dalam “wisata seksual berijab kabul” seperti yang terjadi di daerah Puncak Bogor Jawa barat. [2]

Dimungkinkan hal tersebut terjadi, meskipun sebenarnya tidak selamanya dunia bisnis perhotelan harus identik dengan dunia hedonisme dengan adanya kehidupan malam bersuasana hura-hura dengan dilengkapi berbagai aksesoris berupa minuman beralkohol, narkoba dan “perempuan”. Dapat dipastikan apabila atmosfir itu terjadi adalah bukan menjadi harapan dan keinginan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai luhur agama dan adat. Dan Apabila hal tersebut diatas tidak segera diatasi dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat, dapat menimbulkan kemungkinan dunia pariwisata yang Islami akan mengalami kemandekan, bahkan secara perlahan mengalami kemunduran.

Tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat masih ada yang mengatakan bahwa hotel identik dengan pesta minuman keras, narkoba, perselingkuhan, short time, atau prostitusi. Sehingga sebagian wisatawan muslim takut terkena fitnah apabila menginap di sebuah hotel. Dan jika para wisatawan muslim mengkomunikasikan pengalaman pahit tertentu kepada teman-temannya, lama kelamaan jumlah wisatawan muslim yang akan berkunjung ke hotel akan berkurang. Hal itu mengakibatkan mundurnya sektor pariwisata terutama di bidang perhotelan. Hotel yang identik dengan kemaksiatan semacam itu memang ada, akan tetapi barangkali tak seluruhnya seperti itu, masih banyak hotel yang bersih dari polusi maksiat. Sementara untuk membentuk citra hotel syarî’ah memang tak semudah membalik telapak tangan, bisnis perhotelan telah terlanjur memiliki “image” yang kurang sedap, sehingga untuk mengubah citra diperlukan langkah-langkah konkrit, tidak hanya sekedar menjadi wacana.

Mewujudkan Pariwisata Yang Islami

Pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia termasuk pengembangan sektor pariwisata membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Pengaruh tersebut langsung menyentuh pada identitas dasar masyarakat, yaitu sisi kebudayaan. Secara tidak langsung, perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat terpengaruh oleh kebudayaan pendatang yang mereka anggap lebih maju. Kebudayaan pendatang tersebut bukan saja berasal dari luar negeri yang dibawa oleh wisatawan asing, melainkan juga dari dalam negeri yang dibawa oleh wisatawan dalam negeri maupun para pelajar dari berbagai daerah.

Menurut Soedjatmoko perkembangan modernisasi yang seperti itu membawa masalah tersendiri ketika masyarakat telah kehilangan nilai-nilai lama dan cara lama sementara nilai lama dan cara baru belum mencapai kristalisasinya. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas kepribadian dalam diri masyarakat. [3]

Berkaitan dengan perkembangan modernisasi di dunia pariwisata di Indonesia, terutama dalam usaha perhotelan apabila tidak segera mendapat respon, besar kemungkinan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat indonesia sebagai umat Islam terbesar didunia yang selalu memegang teguh nilai-nilai agama, budaya. Masyarakat yang hanya mengandalkan sumber daya manusianya yang tinggi dalam meningkatkan perekonomiannya, dengan mengalirnya pengaruh luar baik kebudayaan asing yang tidak bercirikan keislaman, akan menimbulkan tranformasi budaya yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi-generasi yang multikultur. Hal ini dapat mengakibatkan masyarakat tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya.

Menurut Suyatno Kartodirdjo, ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya tersebut, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial. Hal ini akan mengakibatkan umat Islam tidak lagi peduli terhadap aturan hukum Islam, sehingga keberadaan Islam hanyalah sebagai lambang formalitas yang berada didalam masyarakat, pengetahuan masyarakat terhadap Islam hanya terbatas pada shalat, puasa, zakat dan haji, padahal Islam melebihi dari ibadah tersebut, Islam mengatur jalan hidup manusia menuju kepada kebenaran di segala bidang kehidupan.[4]

Oleh karena itu, Abu Zahrah dalam ushul fiqhnya menyatakan bahwa ada tiga tujuan disyariatkanya hukum Islam termasuk didalamnya hukum mu’amalah, yakni:

1. Penyucian jiwa

2. Upaya penegakan rasa keadilan dalam masyarakat secara umum

3. Mengimplementasikan nilai-nilai kemaslahatan dalam hidup manusia.[5]

1. Penyucian jiwa. Yang dimaksud disini adalah dengan adanya penegakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka diharapkan setiap muslim bisa menjadi sumber inspirasi kebajikan –bukan sumber keburukan dan kehancuran- bagi masyarakat di lingkungannya. Seperti dengan adanya pendirian hotel berbasis syarî’ah, dapat dikatakan mampu membawa misi untuk membersihkan jiwa masyarakat baik secara kolektif maupun individual dari adanya fitnah, gharar, maksiat dan sebagainya sehingga mampu mewujudkan terciptanya ketertiban masyarakat, dan aspek-aspek kesetiakawanan sosial.

2. Upaya penegakan rasa keadilan dalam masyarakat secara umum. Maksudnya adalah dalam menegakkan hukum Islam harus mencerminkan nilai dan rasa keadilan yang menyangkut urusan di antara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan kelompok non muslim. Firman Allah SWT :

“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (surat al-maidah: 8) Seperti dengan adanya pendirian hotel berbasis syarî’ah, dapat diharapkan mampu menciptakan rasa keadilan, sehingga tercipta suasana bisnis yang sehat, Islami dan dalam persaingan yang sehat juga. Hotel berbasis syarî’ah juga diharapkan mampu membawa aspek keadilan terhadap pengunjung, karyawan dan lingkungan sekitarnya. Sehingga masyarakat Indonesia akan memberikan apresiasi terhadap keberadaan hotel syarî’ah yang dimata masyarakat masih dianggap “asing”.

3. Mengimplementasikan nilai-nilai kemaslahatan dalam hidup manusia. Aspek terakhir ini merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai serta harus terdapat dalam setiap hukum Islam. Semua nash senantiasa mengandung nilai-nilai kemaslahatan yang haqiqi walaupun maslahat itu sendiri bagi sebagian orang sulit untuk mengenali dan mengetahuinya. Akan tetapi yang jelas bahwa maslahat itu adakalanya berupa sesuatu yang bisa menarik keuntungan atau manfaat dan adakalanya menolak bahaya yang mungkin timbul. Dalam kesempatan yang berbeda Abdul Wahhab Khallaf[6] berpendapat bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam, adalah demi tercapainya maslahat, Oleh sebab itu ketika terdapat maslahah maka di situlah ada hukum Allah SWT. Karena memelihara kebutuhan-kebutuhan yang pasti (dlaruri ) dan menghindarkan kesempitan adalah tujuan syariat , maka setiap perbuatan yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut bisa dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’ân.

Demikianlah kebenaran Islam telah terekspresikan dalam berbagai warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, adat-kebiasaan para pemeluknya. Segala ekspresi dengan mengikuti kenisbian budaya adalah absah, sebab nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola adat tertentu, tidaklah dapat dipaksakan kepada masyarakat lain dari daerah lain. Masing-masing lingkungan budaya memiliki hak untuk mengembangkan inti kebenaran Islam menurut bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing tetap memiliki kesempatan untuk memberi sumbangan kepada Islam dan peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar untuk secara kreatif dan produktif memberi kontribusi pada pengembangan budaya Islam.

Hotel Syarî’ah Sebagai Sebuah Tawaran

Seperti diuraikan diatas, bahwa dengan meningkatnya kunjungan wisatawan di Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri terjadi peningkatan pendirian hotel-hotel sebagai pendukung pariwisata, maka tidak luput terdapat persaingan bisnis hotel semakin ketat, hal ini dapat dibuktikan dengan terus bermunculannya hotel-hotel baru, baik yang dikelola dengan manajemen lokal maupun international. Dan yang paling terpenting adalah pada awal pembukaannya selalu dibarengi dengan komitmen dan kebulatan tekad dari jajaran manajemen yang dengan penuh semangat disampaikan oleh manajernya. Melalui media promosi yang ada seluruh produknya diekspos, mulai layanan room service, fasilitas internet, spa, sampai dengan jasa penitipan anak.

Akan tetapi sangat disayangkan, dewasa ini hanya ada beberapa hotel yang berani mempromosikan sebagai hotel syarî’ah atau paling tidak bernuansa syarî’ah. Para pemilik atau manajemen hotel umumnya masih enggan di dalam menyikapi dan memosisikan diri untuk menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mereka berdalih dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang bermacam-macam seperti, takut rugi dan bangkrut karena tidak marketable, balik modalnya menjadi tidak menentu, ataupun hotel menjadi tidak terkenal karena kurang “biasa”.

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hotel di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan, kerap kali diberitakan di media massa tentang adanya penggerebekan yang dilakukan oleh jajaran kesatuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian Republik indonesia terhadap pengunjung hotel yang bukan suami istri, ada yang mabuk-mabukan dan sebagainya, akan tetapi pelaku tindakan tersebut tidak lagi merasa jera dikarenakan ada upaya “damai” dan hukuman yang ala kadarnya, seperti, tindakan administrasi, pemanggilan orang tua. [7]

Hotel syarî’ah adalah salah satu model hotel yang menawarkan fasilitas yang sesuai dengan nilai Islam, sehingga mampu meminimalisir adanya praktek perzinahan, minuman keras, pshycotropika, perjudian. Apabila hotel tegas dalam memberlakukan syarat-syarat tamu pengunjung, maka masyarakat juga akan berpikir ulang untuk melakukan yang melanggar pidana.

Hotel syarî’ah adalah salah satu tawaran yang menarik dalam rangka meningkatkan kualitas moral dan karakter bangsa Indonesia yang luhur. Nilai maqashid syarî’ah yang diusung dalam hotel ini adalah demi memberikan nilai kemashlahatan masyarakat dan untuk mencegah perbuatan maksiat.

Salah satu hotel yang berbasis syari’ah adalah PT. Sofyan Hotels Tbk., yang merupakan lembaga bisnis Syari’ah pertama yang mendapat Sertifikat Bisnis Syari’ah dari Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 001/07/B/DSN/MUI/2003, tertanggal 26 Juli 2003/26 Jumadil Awal 1424H., yang dalam kegiatan operasionalnya terikat dengan ketentuan-ketentuan Syari’ah Islam. [8]

Tetapi sampai saat ini, standarisasi hotel Syarî’ah yang baku belum ada, dan belum pula dibuat oleh lembaga-lembaga keislaman yang terdapat di negeri ini, seperti MUI, Kementerian Agama, maupun oleh Ormas-ormas Islam. Akan tetapi sebenarnya bukan masalah yang sulit untuk membuat beberapa ketentuan dalam usaha perhotelan yang bersesuaian dengan kaidah Syarî’ah. Dikarenakan pada asalnya, usaha perhotelan adalah satu dari sekian banyak usaha yang mungkin dilakukan manusia, dan dalam kaidah Syarî’ah, hal itu tetap diperbolehkan, selama tidak ada dalil (nash) yang melarangnya secara tegas.[9]

Sedangkan ketentuan-ketentuan Syarî’ah yang berupa larangan yang harus dijauhi dalam hukum mu’amalah,[10] termasuk didalamnya usaha perhotelan adalah adanya sesuatu yang melanggar syarî’ah, membahayakan, penipuan, dan bersifat meragukan. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Dalam hotel syarî’ah, tidak memproduksi, memperdagangkan, menyediakan, atau menyewakan produk atau jasa yang secara keseluruhan maupun sebagiannya yang dilarang dalam ketentuan syarî’ah. Seperti, dalam hal penyediaan makanan mengandung unsur babi, minuman khamar, adanya perjudian, praktek perzinaan, dan sebagainya yang mengandung unsur najis dan diharamkan oleh syari’at.

2. Dalam hotel syarî’ah, tidak mengandung adanya unsur kedhaliman, membahayakan, kemungkaran, kemaksiatan maupun kesesatan yang terlarang dalam kaidah Syarî’ah, baik secara langsung maupun tidak langsung.

3. Dalam hotel syarî’ah, tidak ada pula unsur penipuan, kecurangan, kebohongan, ketidak-jelasan (gharar), resiko yang berlebihan dan membahayakan.

4. Dalam hotel syarî’ah, sebuah transaksi harus dilakukan berdasarkan jasa atau produk yang nyata, benar-benar ada. Tidak ada sesuatu yang bersifat meragukan yang dapat merusak keabsahan transaksi.

Permasalahan pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita mampu mengembangkan hotel syarî’ah di Indonesia yang bercirikan nilai keislaman. Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan bisnis perhotelan yang bercirikan nilai keislaman.

Pertama, pembangunan fisik hotel dengan memperhatikan identitas Islam. Sebagaimana diketahui, penduduk Indonesia merupakan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam rangka menciptakan lingkungan budaya yang Islami, fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel, rumah makan, sebaiknya memperbanyak tulisan-tulisan hikmah dalam bentuk kaligrafi maupun lukisan yang dipasang di tembok hotel, rumah makan. Sedangkan adanya lukisan maupun hiasan yang berbau “pornografi” hendaknya dihilangkan.

Kedua, menghidupkan kembali keberadaan wisata budaya Islam di hotel syarî’ah. Wisata yang dimaksudkan di sini adalah penyajian dan pengenalan berbagai bentuk kebudayaan tradisional yang berbasis keislaman kepada para wisatawan. Bentuk-bentuk kebudayaan tradisional yang dimaksudkan adalah seperti, sekaten, grebeg suro, seni musik hadrah, tari saman aceh, seni kaligrafi arab. Bentuk-bentuk kebudayaan ini sebenarnya memiliki daya tarik tinggi tetapi karena jarang dipertunjukkan secara rutin, para wisatawan kadang-kadang kesulitan menyaksikannya. Dan apabila dikemas secara baik dalam bentuk festifal kebudayaan, maka akan menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pada satu sisi festifal tersebut memiliki nilai komersiil untuk pariwisata dan pada sisi lain memiliki nilai pelestarian kebudayaan. Pengunjung hotel akan merasa betah tinggal di hotel yang dikemas dengan nuansa Islami dan didukung dengan keberadaan kebudayaan lokal yang Islami.

Ketiga, perlu dicantumkannya pendidikan nilai Islami dalam kurikulum pendidikan perhotelan. Dengan banyaknya lembaga pendidikan yang bergerak pada segmen perhotelan makanya hendaknya memberikan pendidikan tentang hotel syarî’ah pada generasi muda. Sumber kemerosotan nilai dalam masyarakat sebenarnya bermula dari ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pendirian hotel syarî’ah sebagai pemeliharaan kemashlahatan bagi masyarakat. Akibat ketidaktahuan ini, banyak generasi muda justru mengikuti kebudayaan asing daripada memelihara kebudayaan sendiri. Sehingga, ketika mereka berhadapan dengan para wisatawan, yang dikedepankan adalah sikap dan perilaku yang meniru mereka, seperti berbicara dengan bahasa asing, berpakaian dengan gaya asing, dan bahkan berperilaku yang tidak sesuai dengan kebudayaan sendiri.

Slamet Sutrisna, mengatakan bahwa perubahan kebudayaan tidak hanya melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif.[11] Dan apabila dihubungkan dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka budaya keilmuan yang menyentuh nilai ajaran Islam seyogyanya harus mulai dikembangkan dengan baik. Karena dengan adanya pengembangan dan pelestarian lingkungan budaya Islami akan mendapatkan hasil yang positif bagi proses pendidikan untuk generasi penerusnya.

Dalam hal ini, ada beberapa permasalahan dalam kebudayaan yang Islami di Indonesia yang merupakan efek modernisasi juga dipengaruhi oleh mentalitas generasi mudanya. Generasi muda muslim lebih senang mempelajari kebudayaan-kebudayaan asing daripada kebudayaannya sendiri. Melalui pendidikan perhotelan yang Islami, dapat dilakukan perbaikan mentalitas generasi muda.

Keempat, pembentukan tim pemantau pengembangan hotel syarî’ah. Pada akhirnya, ketika kita dihadapkan pada penataan berbagai kepentingan, diperlukan adanya tim yang bertugas melakukan pemantauan atas pengembangan hotel syarî’ah di Indonesia. Tim pemantau ini bertugas untuk menciptakan keselarasan pendirian hotel syarî’ah yang mampu bersinergi dengan pariwisata di Indonesia, agar berbagai kepentingan dapat terakomodasikan tanpa ada yang dirugikan. Kepentingan adanya hotel syarî’ah dan kepentingan pariwisata akan merugikan jika harus mengorbankan satu sama lainnya. Karena menyangkut berbagai kepentingan, sebaiknya tim ini berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasuk di dalamnya para pelaku kebudayaan (ulama, budayawan dan para sesepuh). Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan lebih obyektif.

Apabila tim ini sudah terbentuk, maka dapat dipastikan akan membawa pengembangan diberbagai bisnis pariwisata terutama hotel syarî’ah akan lebih terarah dan tidak membuahkan korban sektor lain.

Penutup

Pengembangan hotel syarî’ah sebagai penunjang pariwisata di Indonesia yang tidak hanya berorientasi pada komersil dan selalu menjunjung tinggi nilai luhur agama dan adat tampaknya merupakan kebutuhan mendesak di Indonesia. Karena hal ini hars segera dilakukan sebelum terlanjur mengalami krisis kebudayaan akibat pengembangan pariwisata yang terlalu beroientasi pada bisnis semata. Dan sangat dibutuhkan kerja keras, intens dan kerelaan berbagai pihak untuk mengalah dan berpikir holistik agar tercapai pengembangan pariwisata yang Islami yang memiliki daya tahan tinggi di masa-masa mendatang.

Dan yang harus diperhatikan adalah keberadaan ketentuan-ketentuan Syarî’ah yang berupa larangan yang harus dijauhi dalam hukum mu’amalah, termasuk didalamnya usaha perhotelan adalah adanya sesuatu yang melanggar syarî’ah, membahayakan, penipuan, dan bersifat meragukan. Dan demi mewujudkan pariwisata yang Islami, maka harus ada pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia termasuk pengembangan sektor pariwisata membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Berkaitan dengan perkembangan modernisasi di dunia pariwisata di Indonesia, terutama dalam usaha perhotelan apabila tidak segera mendapat respon, besar kemungkinan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat indonesia sebagai umat Islam terbesar didunia yang selalu memegang teguh nilai-nilai agama, budaya.

Jadi dapat disimpulkan, ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk langkah pengembangan hotel syarî’ah, yaitu :

a. Memulai kesiapan sikap diri senantiasa selalu berpegang teguh pada syarî’ah dan bersih dari segala penyimpangan yang harus dilakukan oleh pemilik hotel, pegawai dan masyarakat.

b. Menyebarkan iklan promosi hotel syarî’ah melalui media elektronik dan cetak dengan intensitas waktu sambil berbenah demi pengembangan hotel syarî’ah, sehingga mampu memperkenalkan keberadaan hotel ini sebagai hotel yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat. Dengan keterbatasan informasi, maka akan membatasi calon wisatawan yang ingin mendapatkan hotel berbasis syarî’ah.

c. Membangun instrument hukum yang kuat, aparat penyidik yang bersih, amanah dan kuat dalam hal ini pihak kepolisian, jaksa selaku penuntut umum, dan Hakim yang adil dan kuat. Kerjasama yang dilakukan oleh pemilik hotel, aparat hukum dan masyarakat akan membawa menuju pariwisata yang Islami.



[1] http://www.budpar.go.id/filedata/5436_1695-Rankingdevisa.pdf , (diakses tanggal 10 Oktober 2010)

[2] http://www.gatra.com/artikel.php?id=140413 (diakses tanggal 10 Oktober-2010)

[3] Soedjatmoko, Etika Pembebasan (Jakarta : LP3ES, 1988), hlm. 44.

[4] Kartodirdjo, Suyatno, Tranformasi Budaya dalam Pembangunan dalam Tantangan Kemanusiaan Universal (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 145.

[5] Abu Zahrah, Ushul Fiqih Edisi terjemahan Saifullah Ma’shum dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 29.

[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002), hlm. 229.

[9] Sesuai dengan kaidah yang menyatakan: “Hukum asal dalam muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yan mengharamkannya.” Lihat: Muslich Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 119.

[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 236.

[11] Slamet Sutrisna, Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia dalam Tantangan Kemanusiaan Universal (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm.147.

IBNU RUSYD DAN METODE IJTIHADNYA DALAM BIDÂYAH AL-MUJTAHID Fahruddin Ali Sabri Staf Pengajar STAIN Pamekasan

Abstraksi

Ushûl fiqih mempunyai peranan yang sangat penting di dalam ilmu Islam, karena hukum Islam sebagian hanya mengatur permasalahan secara pokok-pokoknya dan tidak secara mendetail. Hal ini adalah wajar karena hukum Islam berlaku sampai akhir zaman. Padahal di dalam kehidupan manusia selalu akan terjadi perubahan tata sosial masyarakat, sehingga selalu muncul persoalan-persoalan baru di dalam masyarakat. Tulisan ini mendeskripsikan beberapa metode yang digunakan Ibnu Rusyd dalam memutuskan suatu masalah hukum syar’i. Kapasitasnya sebagai seorang ahli fiqih sudah tidak bisa diragukan lagi dengan karyanya yang terkenal Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid yang merupakan sebuah kitab fiqih perbandingan.

Kata kunci: Ibnu Rusyd, Ijtihad, Hukum Islam

Pendahuluan

Sebagaimana diketahui, syari’ah Islam merupakan syari’ah pamungkas yang disampaikan melalui lisan Rasulullah Muhammad saw dengan membawa petunjuk Ilahî. Rasulullah Muhammad saw adalah rasul terakhir dan penutup. Demikian pula syari’ah yang dibawanya adalah syari’ah Allah yang terakhir pula. Tidak ada Nabi dan Rasul setelah beliau. Allah berfirman

$¨B tb%x. î£JptèC !$t/r& 7tnr& `ÏiB öNä3Ï9%y`Íh `Å3»s9ur tAqߧ «!$# zOs?$yzur z`¿ÍhŠÎ;¨Y9$# 3 tb%x.ur ª!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« $VJŠÎ=tã[1]

Bagi umat Islam, syari’ah merupakan tugas umat manusia secara menyeluruh. Sumber utama syari’ah adalah al-Qur’ân dan al-Sunnah yang universal, abadi dan mencakup segala lapangan kehidupan serta mampu memenuhi kebutuhan hidup umat manusia sepanjang zaman kapan dan di mana pun berada. Namun sejalan dengan perubahan sosial yang mengakibatkan munculnya tuntutan akan perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum, maka dibutuhkan adanya ijtihad yang digunakan untuk memenuhi dan mengeluarkan hukum dari dua sumber tersebut. Perubahan dan pembaharuan dalam hukum Islam erat kaitannya dengan masalah ijtihad. Ijtihad secara umum dapat berarti pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’.[2]

Dalam rangka pembaharuan hukum Islam, ijtihad dapat berupa penetapan hukum terhadap masalah-masalah baru yang belum ada ketentuan hukumnya atau penetapan hukum baru untuk menggantikan hukum lama yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kemaslahatan umat manusia dewasa ini.[3] Dinamika hukum Islam ini terbentuk karena adanya interaksi wahyu dan akal. Itulah yang berkembang menjadi ijtihad.

Akal telah dipandang sebagai sumber fundamental kedua ketika al-Qur’ân dan al-Sunnah diam dan tidak lagi memberi jawaban atas permasalahan yang ada. Ketika suatu prinsip atau aturan syari’ah didasarkan pada makna umum atau implikasi yang luas dari teks al-Qur’ân dan al-Sunnah serta berbeda dengan aturan langsung dari teks yang jelas dan rinci, maka teks dan syari’ah itu harus dihubungkan melalui penalaran hukum (ijtihad). Agaknya bukan suatu yang asing bagi para sahabat sepeninggal Rasulullah saw untuk memecahkan berbagai maslah penting melalui ijtihad, karena ijtihad itulah metodologi yang tersedia bagi manusia untuk memahami ajaran-ajaran agama. Al-Ghazâlî menyatakan telah terjadi ijma’ sahabat, bahkan berita bahwa para sahabat telah menggunakan ijtihad terhadap kasus-kasus yang tidak dijumpai secara tegas dalam nas telah sampai ke masanya.[4]

Kecendrungan untuk menggunakan ijtihad ini merupakan implikasi dari kegiatan berpikir dan kepercayaan bahwa bagi penalar akan diberi dua pahala apabila penalarannya benar, dan satu pahala apabila penalarannya salah. Al-Sunnah mendukung ijtihad sebagai sumber syari’ah.[5]

Dan salah satu metode ijtihad adalah Qiyâs, yang merupakan salah satu metode untuk menetapkan hukum yang tidak terdapat di dalam nash. Dalam perkembangannya ternyata qiyâs mengalami perubahan makna dan fungsi secara signifikan. Sebelum adanya pembakuan oleh al-Syâfi’i dalam al-Risâlah, qiyâs belum dalam formulasi yang baku, ia masih dalam bentuknya yang bebas sebagai suatu penalaran yang liberal dalam menentukan sebuah hukum. Qiyâs ini tidak terpaku pada syarat-syarat yang ketat yang membatasinya dalam berfikir liberal, spekulatif dan dinamis dalam menentukan masalah. Qiyâs sebagai penalaran hukum ini lazim disebut juga dengan istilah penalaran.[6] Ia berlaku mulai pada masa Rasulullah sebagai embrionya dan semakin matang pada masa Abu Hanifah sebagai panglima aliran ahl al-ra’y. Pemberlakuan qiyâs semacam ini, menimbulkan hukum Islam yang dinamis, liberal, dan akomodatif terhadap perubahan zaman. Hal ini karena hukum Islam tidak harus selalu terpasung dalam bayang-bayang teks zhahir dari al-Qur’ân dan al-Sunnah, yang sudah barang tentu memuat sesuatu yang terbatas.[7]

Berdasarkan kenyataan berubahnya konsep qiyâs pasca masuknya unsur logika Aristoteles, maka perlu adanya reformulasi baru terhadap model penalaran qiyâs dalam ushûl fiqh. Reformulasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan qiyâs seperti bentuk dasarnya, yaitu penemuan suatu hukum baru berdasarkan pada perenungan, penalaran, dan analisis sosial yang menekankan pada ruh keadilan Islam.[8]

Ibnu Rusyd adalah salah seorang filosof Islam Andalusia yang banyak mengulas, mengkritik dan mengkomentari pemikiran-pemikiran Aristoteles sehingga ia dijuluki “Sang Komentator”. Selain menjadi seorang filosof, Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai seorang ahli fiqh dengan karangan monumentalnya Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid.

Biografi dan Karya Ibnu Rusyd

Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd al-Hafîd al-Andalûsi al-Qurthubî al-Mâlikî. Beliau merupakan filosof muslim barat terbesar di abad pertengahan. Dilahirkan pada tahun 520 H/ 1126 M di kota Cordoba Spanyol, dan wafat pada tahun 595 H/ 1198 M. [9]

Ibnu Rusyd dididik mulai kecil hingga usia baligh di tengah keluarga terhormat, terdidik dan taat beragama. Beliau mempunyai seorang ayah dan kakek yang terkenal sebagai hakim yang adil dan berwibawa. Kakeknya (Ibnu Rusyd al-Jadd) mempunyai fatwa-fatwa tertulis yang sampai saat ini masih tersimpan di perpustakaan Paris.[10] Hal ini mencerminkan ketajaman otak sang kakek yang kemudian diwarisi oleh sang cucu yaitu Ibnu Rusyd. Tradisi keagamaan Ibnu Rusyd mengikuti didikan dan kebiasaan ayah dan kakeknya. Mengingat kakek dan ayahnya mengikuti dan mendalami fiqh Malikî dan secara teologi mengikuti pola pikir al-Asy’arî, maka secara alami ia mempelajarinya dari sang ayah. Kemudian ia juga meriwayatkan hadits dan menghafal kitab al-Muwatha’.[11] Ibnu Rusyd tumbuh dan berkembang di Cordoba, ia belajar fikih, matematika dan kedokteran.[12] Ia juga berguru dalam bidang filsafat kepada Ibnu Bajah (w. 533 H) yang dalam literatur Barat dikenal dengan nama Avinpace. Filosof terakhir ini merupakan filosof terbesar di Eropa sebelum Ibnu Rusyd.[13]

Ibnu Rusyd terlihat sangat akrab dengan raja dan kalangan istana. Hal ini dimulai semenjak pertemuan bersejarah antara Ibnu Rusyd, Raja Abu Ya’qub dan Ibnu Thufail[14], keakraban Ibnu Rusyd dengan raja dan kalangan istana bertambah kuat. Langkah simpati dan kepercayaan awal Khalifah kepadanya ditandai dengan pengangkatan dirinya sebagai hakim di Sevilla pada tahun 1169 [15] dan kemudian diangkat menjadi Hakim agung yang berkedudukan di Cordoba, ibu kota Andalusia.[16]

Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan komentator terhadap filsafat Aristoteles. Kegemarannya terhadap ilmu sulit untuk dicari bandingannya, karena menurut riwayat, sejak kecil sampai masa tuanya beliau tidak pernah berhenti untuk membaca dan menelaah kitab.

Karangannnya meliputi berbagai ilmu seperti fiqh, ushûl, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, ahlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar yang telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya merupakan karangan sendiri, ulasan atau ringkasan. Karena sangat tinggi penghargaannya terhadap Aristoteles, maka tidak mengherankan kalau beliau memberikan perhatian yang besar untuk mengulas dan meringkas filsafat Aristoteles. Buku-buku yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aprhodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Gazali dan Ibnu Bajah.[17] Klasifikasi karya Ibnu Rusyd sesuai disiplin ilmu yang sudah populer, sebagai berikut:[18]

1. Filsafat/Hikmah

  • Tahâfut Tahâfut (kerancuan dalam kerancuan) berisi tanggapan terhadap buku al-Gazali yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah (kerancuan para filosof).
  • Jauhar al-Ajram al-Samâwiyyah (struktur benda-benda langit).
  • Ittishâl al-’Aql al-Mufarriq bi al-Insân, (komunikasi akal yang membedakan dengan manusia).
  • Kitab fi al-’Aql al-Huyulani aw fi Imkân al-Ittishâl (akal substantif yang mungkin dapat berkomunikasi).
  • Syarh Ittishâl al-’Aql bi al-Insân (komentar terhadap kaitan akal dengan manusia).
  • Masâil fi Mukhtalif Aqsâm al-Manthiq (berbagai masalah tentang aneka bagian).
  • Al-Masâil al-Burhâniyyah (masalah masalah argumentatif).
  • Khulâshah al-Manthiq (ringkasan ilmu logika).
  • Muqqadimah al-Falsafah (pengantar ilmu filsafat).
  • Al-Nâtijah al-Muthâbaqah (mengambil kesimpulan yang sesuai), menanggapi pendapat al-Farabi tentang qiyâs.
  • Jawâmi’ Aflathon (komunitas platonisme).
  • At-Ta’rif bi Jihah Nazhr al-Farabi fi Shinâ’ah al Manthiq wa Nazhr Aristho Fiha (mengenal visi Farabi dan Aristoteles tentang kreasi logika).
  • Syurûh Kashirah ‘ala Al-Farabi fi Masâil al Manthiqi Aristho (beberapa komentar terhadap pemikiran logika Aristoteles).
  • Maqâlah fi ar-Radd ‘ala Abi Ali ibn Sina (makalah jawaban untuk Ibnu Sina)
  • Syarh al-Ilâhiyyat al-Awsat (Talkhis al-Ilâhiyyat) (komentar tentang ketuhanan yang tidak rumit).
  • Risâlah fi anna Allah Ya’lam al-Juz’iyyât (risalah bahwa Allah mengetahui yang teknis/juz’i).
  • Maqâlah fi al-Wujûd al-Sarmida wa al-Wujûd al-Zamani (makalah tentang eksistensi implisit dan eksistensi waktu).
  • Al-Fahsh ‘an Masâil Waqa’at fî al-’Ilm al-Ilâhi (pemeriksaan masalah yang berada dalam ilmu ketuhanan), tanggapan terhadap beberapa problem dalam kitab al-Syifâ’ karya Ibnu Sina.
  • Masâil fî ‘Ilm al-Nafs (beberapa masalah tentang ilmu jiwa).

2. Ilmu Kalam

· Fashl al-Maqâl fî mâ Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishâl (uraian tentang kaitan filsafat dan syari’ah).

· I’tiqâd Masysyain wa al-Mutakallimin (keyakinan kaum liberalis dan pakar ilmu kalam).

· Al-Manâhij fî Ushûl aم-Din (beberapa metode dalam membahas dasar-dasar agama).

· Syarh Aqidah al-Imâm al-Mahdi (penjelasan tentang akidah imam al-Mahdi). Kitab ini menjelaskan keyakinan dan ideologi Abu Abdillah Muhammad ibn Tumart (w.1130) yang mirip dengan teologi Syi’ah.

· Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al-Millah (beberapa metode argumentatif dalam aqidah agama).

· Dhamimah li Masalah ‘Ilm al-Qadim (inti masalah ilmu kuno).

3. Fiqh dan Ushûl Fiqh

· Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid (dasar mujtahid dan tujuan orang yang sederhana), dicetak di berbagai negara dalam lintas madzhab dan diterjemah ke dalam beberapa bahasa.

· Mukhtashar al-Mustashfa (ringkasan dari al-Mustashfa, karya al-Gazali).

· Al-Tanbih ila al-Khathâ’ fi al-Mutûn (peringatan kesalahan matan).

· Risâlah fi al-Dhahâyâ (risalah tentang hewan kurban).

· Risâlah fi al-Kharâj (risalah tentang pajak tanah).

· Makâsib al-Mulûk wa al-Ruasâ’ al-Muharramah (penghasilan para raja dan pejabat yang diharamkan).

· Ad-Dâr al-Kamil fi al-Fiqh (studi fiqh yang sempurna).

4. Nahwu

· Kitâb al-Dharuri fi al-Nahw (yang penting dalam ilmu nahwu).

· Kalâm ‘ala al-Kalimah wa al-Ism al-Musytaq (pendapat tentang kata dan isim musytaq).

5. Ilmu Falak/Astronomi

· Mukhtashar al-Maqishthi.

· Maqâlah fi Harkah al-Jirm al-Samâwiy (makalah tentang gerakan meteor).

· Kalâm ‘ala Ru’yah al-Jirm al-Tsâbitah (pendapat tentang melihat meteor yang tetap tak bergerak).

6. Kedokteran

  • Al-Kulliyyat (7 jilid), studi lengkap tentang kedokteran. Menjadi buku wajib dan selalu menjadi rujukan dalam bertbagai Universitas di Eropa.
  • Syarh Arjuwizah Ibn Sina fi al-Thibb. Kitab ini secara kuantitas paling banyak beredar.
  • Maqâlah fi al-Tiryaq (makalah tentang obat penolak racun).
  • Nashâih fi Amr al-Ishâl (nasehat tentang penyakit perut atau mencret).
  • Masalah fi Nawâih al-Humma (masalah tentang penyakit panas).
  • Beberapa ringkasan kitab-kitab Galinus

Akan tetapi buku-bukunya yang sampai pada kita hanya ada empat, yaitu :

  • Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid dalam bidang ilmu fiqih.
  • Fasl al-Maqâl fi mâ Baina al Hikmah wa al-Syarî’ah min al-Ittishâl dalam bidang ilmu kalam.
  • Manâhij al Adillah fi ‘Aqâid al-Millah dalam bidang ilmu kalam.
  • Tahâfut Tahâfut dalam bidang ilmu filsafat dan ilmu kalam.[19]

Selayang Pandang Kitab Bidâyah al-Mujtahid

Ibnu Rusyd adalah seorang ilmuwan yang berlatar berlakang lintas disiplin ilmu, ketika ushûl fiqh yang diintegrasikan dengan fiqh dalam kitab Bidâyah al-Mujtahid, maka mempunyai keistimewaan dibanding karya ushûl fiqh dan fiqh yang ditulis oleh ulama lain. Biasanya para ulama menulis fiqh dan ushûl fiqh secara terpisah. Misalnya Imam al-Syâfi’i menulis ushûl fiqh dalam al-Risalah, dan menulis fiqh dalam al-Um. Bahkan ada ulama yang menulis ushûl fiqh, tetapi tidak dengan fiqh yang merupakan realisasi ushûl fiqhnya itu. Misalnya al-Gazâlî menulis al-Mushtasfa dalam bidang ushûl fiqh, tetapi karya spesifik fiqhnya tidak ada, justru yang populer adalah karyanya yang memadukan antara fiqh dan tasawuf, yang kering dari ushûl fiqh, seperti Ihya’Ulumuddin dan Bidâyah al-Hidâyah. Ada juga ulama yang mempunyai karya monumental dalam bidang fiqh, tetapi karya ushûl fiqhnya tidak ditemukan; seperti al-Nawawi yang menulis kitab Muhadzab dan Majmu’ untuk karya fiqh tanpa ushûl fiqh, dan masih banyak contoh lagi yang dapat dikemukakan.

Tujuan akhir dari beberapa aliran atau madzhab fiqh yang mempunyai tokoh yang menulis fiqh muqarin (fiqh perbandingan) adalah ingin memenangkan madzhab yang didukungnya. Ada karya Ibn Taimiyah (w. 728 H) dari madzhab Hanbali yakni Majmû’ Fatawa i, dan karya al-Nawawi (w.676 H) dari madzhab Syâfi’i yakni Majmu’, dan kitab karya Ibnu Rusyd (w. 597 H) dari madzhab Maliki yakni Bidâyah al-Mujtahid, dan kitab karya Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w.189 H), dari madzhab Hanafi yakni al-Hujjah ‘Ala Ahl al-Madinah, dan kitab al-Khilaf fi al-Ahkâm karya Abu Ja’far Muhammad al-Thusi (w.460 H) dari madzhab Syi’ah Imamiyah.[20]

Penerapan teori ushûl fiqh sekaligus produk hukum (istinbâth) dari masing-masing madzhab yang dijelaskan secara singkat dan integral hanya dilakukan Ibnu Rusyd dalam Bidâyah al-Mujtahid ini. Ibnu Rusyd dalam menyampaikan pandangan-pandangan ulama, tak lupa salalu menyisipkan dalil serta wajh dilalahnya (cara pengambilan dalil), sehingga pembaca dimungkinkan untuk mengetahui proses pembentukan hukum tersebut, bukan sekadar taklid buta.[21]

Kitab Bidâyah al-Mujtahid merupakan kitab fiqh muqârin yang memuat pendapat-pendapat Imam Madzhab dalam menentukan suatu hukum Islam. Dalam Bidâyah al-Mujtahid dibahas berbagai persoalan fiqhiyah diantaranya bab taharah, salat, zakat, merawat jenazah, haji, jihad, kurban, sumpah, nazar, makanan dan minuman, nikah, talak, li’an, diyat, pesanan, ‘ariyah, barang temuan, sewa menyewa, dan lain sebagainya. Semua masalah yang diungkapkan oleh Ibnu Rusyd di dalamnya terjadi perselisihan di antara ulama karena adanya perbedaan penafsiran ataupun metode dalam memutuskan sebuah masalah hukum.

Ibnu Rusyd yang sangat populer di Barat dan Timur itu mengutip pendapat imam madzhab empat secara jeli dengan studi banding, bahkan melampaui madzhab lain di luar madzhab empat. Ia tidak hanya berhenti pada kutipan, tetapi memberi opini terhadap aneka pendapat itu dengan argumentasi berdasarkan ayat-ayat suci al-Qur’ân, al-sunnah, Ijma’ dan Qiyâs, bahkan sampai pada mashâlih al-Mursalah, istihsân dan urf.

Dengan demikian, menurut Ibnu Rusyd, kriteria kefaqihan tidak dapat diukur dengan jumlah dan kuantitas al-masâil al-fiqhiyah yang dihapal, tetapi diukur dengan kemampuan mengistinbâth hukum langsung dari al-Qur’ân, al-Sunnah dan sumber-sumber lain yang tidak bertentangan dengan kedua sumber tersebut, melalui proses rasionalisasi yang memadai berdasarkan kaidah-kaidah linguistik dan teori ushûl fiqh.[22]

Metode Ijtihad Ibnu Rusyd dalam Bidâyah al-Mujtahid

Ibnu Rusyd menjelaskan dalam mukadimah Bidâyah al-Mujtahid bahwa tujuan dari penulisan kitab ini adalah untuk mengulas problematika hukum Islam yang disepakati dan yang diperselisihkan, lengkap dengan dalil dan argumentasinya. Di samping itu dijelaskan pula sebab-sebab terjadinya perselisihan, yang pada umumnya berkisar pada masalah pengertian nash dalam syara’.[23] Pengertian inilah yang dapat menghasilkan kesepakatan di kalangan para pakar hukum Islam atau justru menjadi bahan perselisihan pendapat di kalangan mereka semenjak masa sahabat sampai masa taklid.

Ibnu Rusyd dalam mukadimah Bidâyah al-Mujtahid , menyebutkan bahwa hukum Islam terbentuk harus bersumber dari al-Qur’ân, al-Sunnah. kedua sumber tersebut biasa dinamakan dengan nash. Dengan berkembangnya Islam dan persoalan-persoalan baru muncul dengan pesat mengakibatkan para fuqaha merasa kesulitan untuk menyelesaikan semua persoalan tersebut hanya dengan bersandar pada nash.

Dan ketika problem hukum yang ketentuannya tidak terdapat dalam nash maka diupayakan dapat diketahui hukumnya melalui metode analogi (qiyâs). Sedangkan menurut Zhahiri dan Syi’ah Imamiyah, qiyâs dalam hukum Islam itu batal. Madzhab Zhahiri tidak mengakui adanya ‘illat nash dan tidak berusaha untuk mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan ‘illat.[24] Oleh karena itu, semua problem yang ketentuan hukumnya tidak dibicarakan dalam nash syar’i berarti tidak ada hukumnya.

Dalam mukadimah Bidâyah al-Mujtahid Ibnu Rusyd mengatakan, kata-kata, perbuatan dan taqrir Nabi, yang kemudian menjadi salah satu sumber hukum Islam itu, ada empat macam. Tiga di antaranya sudah disepakati dan satu masih diperselisihkan.

Tiga yang disepakati itu adalah:

1. kata umum (lafal ‘âm) dengan maksud sesuai dengan keumumannya.

2. kata khusus (lafal khâs) dengan maksud sesuai dengan kekhususannya.

3. kata-kata yang mempunyai pengertian umum, tetapi menghendaki pengertian yang khusus, atau kata-kata khusus yang menghendaki pengertian umum.[25]

Tiga macam kata-kata di atas kadang-kadang menggunakan istilah sebagai berikut:

1. al-tanbih bi al-a’lâ ila al-adnâ (penegasan ketentuan yang lebih rendah dengan ketentuan yang lebih tinggi).

2. al-tanbih bi al-adnâ ‘ala al-a’lâ (penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah).

3. al-tanbih ‘alâ al musawi bi al-musawi (penegasan ketentuan yang setara dengan ketentuan yang setara).

Contoh lafal pertama adalah:

Surat al-Maidah ayat 3:

ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#

Para ulama sepakat bahwa kata khinzir (babi) meliputi segala jenis babi, kecuali hewan yang kebetulan mempunyai nama yang sama, seperti babi laut.

Contoh lafal umum dengan maksud khusus adalah firman Allah Swt

Surat at-Taubah: 103

õè{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍkŽÏj.tè?ur $pkÍ5

Para ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan pada semua harta benda.

Contoh lafal khusus dengan maksud umum adalah firman Allah Swt.

Surat al-Isra’ : 23

Ÿxsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&

Contoh tersebut termasuk dalam lingkup penegasan ketentuan yang lebih tinggi dengan ketentuan yang lebih rendah. Sebab firman Allah itu mengandung suatu pengertian tidak boleh memukul, memaki, dan perbuatan-perbuatan lain yang lebih keras.

Kata yang digunakan untuk suatu “tuntutan” terkadang berbentuk amar (perintah) atau kalimat berita yang dapat dipahami sebagai perintah. Begitu juga perbuatan yang harus ditinggalkan, kadang berbentuk nahî (larangan) atau kalimat berita yang dapat dipahami sebagai larangan.

Penggunaan kalimat perintah seperti itulah yang menjadi pembahasan para ulama, yaitu apakah perintah itu berakibat wajib atau sunat. Atau seseorang tidak bersikap dahulu menunggu ditemukannya dalil yang memperkuat. Sikap dan pendapat seperti itulah yang menjadi lapangan pembahasan ilmu ushûl fiqh.

Masalah yang sama juga terjadi pada bentuk larangan (nahî). Bentuk ini apakah menunjukkan pengertian hukum haram atau makruh, atau malah tidak berakibat hukum apa-apa. Masalah ini juga masih diperselisihkan di kalangan para ulama.

Terkadang, masalah menjadi obyek hukum itu menggunakan suatu kata yang hanya mempunyai satu arti dan satu pengertian, yang di dalam ilmu ushûl fiqh disebut nash. Dalam hal ini, penentuan hukumnya jelas, tanpa ada perdebatan. Kadang menggunakan kata yang mempunyai arti yang banyak, tidak hanya satu pengertian. Lafal ini terbagi dua:

1. lafal itu menunjukkan arti dan pengertian yang sama, dalam ushûl fiqh disebut mujmal.

2. lafal itu menunjukkan beberapa arti atau lebih dari satu pengertian. Lafal terakhir inilah yang disebut zhahir. Dan arti yang lebih sedikit, dari satu lafal, disebut muhtamal (memungkinkan untuk dipahami dengan beberapa arti).

Lafal muthlaq harus diartikan semestinya. Sampai ada dalil yang menunjukkan arti secara muhtamal.

Perbuatan Nabi SAW, termasuk sebagian dari sumber syara’ menurut kebanyakan fuqahâ’. Af’âl tidak mengandung konsekuensi hukum, jika tidak ada sighat yang dapat berkonsekuensi hukum sesuai dalalahnya. Para ulama berbeda pendapat tentang macam kongkrit hukumnya. Sebagian mengatakan wajib dan yang lain mengatakan sunat.

Menurut penelitian para ahli, jika af’âl itu menjelaskan hukum wajib yang masih mujmal, maka af’âl tersebut berkonotasi wajib. Dan jika af’âl tersebut menjelaskan hukum sunat yang masih mujmal, maka af’âl tersebut berkonotasi hukum sunat. Jika af’âl tersebut tidak menjelaskan sunat atau wajib hanya mujmal saja, maka hal hal itu hanya berkonotasi qurbah yang dekat dengan hukum sunat. Selanjutnya, jika termasuk mubah, berarti af’âl tersebut menunjukkan hukum mubah. Sedangkan taqrir Nabi memberikan petunjuk akan kebolehannya (mubah). Demikian sebagian metode penyimpulan hukum (istinbâth al-ahkâm).

Muhammad Abu Zahrah menuturkan bahwa setiap perkataan dan pengakuan Nabi termasuk ajaran dan hujjah dalam agama, tetapi dalam perbuatan Nabi para ulama berbeda pendapat. Para ulama membagi perbuatan Nabi dalam tiga bagian. Pertama, perbuatan yang menyangkut penjelasan syari’at seperti salat, puasa dan haji. Kedua, perbuatan Nabi yang berdasar dalil dinyatakan bahwa perbuatan itu khusus berlaku untuk Nabi. Ketiga, perbuatan Nabi yang itu merupakan adat dan kebiasaan manusia.[26]

Ijma’ ulama (konsensus ulama) sebagai salah satu metode dalam pengambilan hukum Islam. Jika ijma’ terjadi pada salah satu dari empat metode di atas, padahal bukan merupakan dalil qath’i (pasti), maka hukum yang ditetapkan dengan zhan (perkiraan) berubah menjadi hukum qath’i. Ijma’ memang bukan merupakan hukum yang berdiri sendiri, jika tidak didasarkan pada salah satu dari empat metode di atas. Sebab jika ijma’ mempunyai kedudukan sendiri, berarti sama dengan menetapkan “hukum baru” setelah Nabi Muhammad SAW. Itu berarti tidak mengacu pada ketetapan syara’ yang sah.[27]

Ijma’ dalam hal-hal teoritis tidak dapat diketahui secara pasti, begitu juga dalam hal-hal yang yang bersifat praktis. Ijma’ umat dalam masalah apapun dan pada masa kapanpun juga tidak dapat diketahui, kecuali jika masanya dibatasi dengan tegas. Semua ulama pada masa itu diketahui dengan jelas, dan pendapat mereka tentang persoalan tertentu sampai secara runtun (mutawatir). Di samping itu, ada kepastian bahwa semua ulama pada masa tersebut telah sepakat tentang tidak adanya makna lahir dan makna takwil dalam teks syariat tersebut, lalu bersepakat pula bahwa pengetahuan mengenai suatu persoalan tidak boleh dirahasiakan dari orang lain, dan hanya hanya ada satu metode untuk memahami teks syariat tersebut.

Statemen hukum yang bisa diungkap pada seorang mukallaf (orang yang terkena beban hukum), secara garis besar dapat berbentuk amar (perintah), nahî (larangan), dan takhyir memilih salah satu). Amar (perintah) berkonotasi wajib melaksanakan ketetapan hukum dan ada resiko hukuman jika tidak melaksanakan ketetapan hukum tersebut. Jadi Amar menunjukkan hukum wajib. Jika amar dapat dipahami akan mendapatkan imbalan pahala dan tidak ada resiko hukuman, amar tersebut berkonotasi sunat. Demikian juga nahî (larangan), jika pelanggaran ketetapan hukum tersebut disertai dengan hukuman, maka perbuatan itu berkonotasi haram. Tetapi jika nahî itu dapat dipahami hanya sebagai larangan tanpa disertai dengan ancaman hukuman, maka nahî yang berkonotasi makruh.[28]

Dari uraian di atas, para ulama menyimpulkan ada lima macam hukum syara’ yang disimpulkan melalui kaidah hukum ushûl fiqh. Lima hukum itu adalah wajib, sunat, haram, makruh, dan mubah.

Ibnu Rusyd menjelaskan juga enam sebab yang menjadi pokok silang pendapat di kalangan fuqaha’.[29]

Pertama, adanya berbagai kemungkinan pemahaman terhadap satu kata (lafal) karena adanya perbedaan sudut pandang.

1. Zhahirnya suatu kata (lafal) itu ‘âm, tetapi yang dimaksud adalah khusus.

2. Lafal khusus (khâsh) yang dimaksud adalah pengertian umum.

3. Lafal ‘âm pengertiannya ‘âm juga, tetapi belum jelas apakah lafal itu diperkuat dengan khitab atau tidak.

4. Lafal khâs dengan pengertian khâs juga.

Kedua, adanya lafaz yang digunakan secara ganda (isytirak).

1. Lafal mufrad (tunggal), seperti kata qurû’ yang biasa diartikan al-thahâr (suci) atau haid. Amar (perintah) bisa berkonsekuensi wajib dan juga bisa berkonsekuensi sunat atau mubah. Nahî juga bisa berkonsekuensi haram atau makruh.

2. Lafal murakkab (bersusun), seperti firman Allah SWT, Surat An-Nur: 4-5

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qç/$s? .`ÏB Ï÷èt/ y7Ï9ºsŒ (#qßsn=ô¹r&ur ¨bÎ*sù ©!$# Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÎÈ

Pada akhir ayat itu, ada kata من بعد ذالك , apakah musyar ilaih kata dzalik itu kembali kepada kefasikan saja atau pada kefasikan dan persaksian secara bersamaan. Artinya, tobat itu bisa menghapus dosa karena fasik, dengan konsekuensi “boleh” menjadi saksi, walaupun sebelumnya menjadi penuduh zina pada orang lain (qâzif)

Ketiga, karena adanya perbedaan i’râb (cara membaca).

Keempat, suatu kata (lafal) dimungkinkan dapat dipahami secara haqiqî, majazî, atau isti’ârah.

Kelima, penyebutan kata secara mutlak atau muqayyad, seperti kata ‘itqu bisa berarti mutlak atau dengan taqyid.

Keenam, ta’ârudh (bertentangan, antagonistik) antara dua sumber atau metode yang berkaitan dengan hukum syara’, ta’ârudh pada af’âl, iqrâr, dan qiyâs, atau ta’ârudh yang disebabkan tiga hal tersebut, yakni ta’ârudh lafal dengan af’âl, taqrir, dengan qiyâs dan seterusnya.

Penutup

Ibnu Rusyd dalam menetapkan sebuah hukum Islam menggunakan Al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai dasar utama. Tetapi karena kedua sumber tersebut sangat terbatas beliau juga mempergunakan ijtihad sebagai metode alternatif untuk memecahkan problematika hukum syar’i yang terus berkembang. Dalam memecahkan permasalahan hukum syar’i yang semakin kompleks tersebut Ibnu Rusyd banyak menggunakan qiyâs (analogi). Masalah-masalah syar’i yang tidak bisa dijumpai dalam al-Qur’ân dan Sunnah diputuskan dengan menganalogikan atau disamakan dengan hukum-hukum yang sudah ada ketentuannya dalam kedua sumber pokok ajaran Islam yaitu al-Qur’ân dan al-Sunnah. Penggunaan ijma’ (konsensus) bagi Ibnu Rusyd mungkin hanya bisa terjadi pada masa sahabat. Dengan berkembangnya ajaran Islam dan semakin luasnya wilayah Islam sangat sulit terjadi kata mufakat bagi semua mujtahid yang hidup pada masa tersebut. Menurut Ibnu Rusyd yang bisa terjadi dalam ijma’ hanyalah kesepakatan dalam masalah-masalah ‘amaliyah dan bukan masalah teoritis.

Daftar Pustaka:

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1969.

Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter, alih bahasa Khalifurrahman Fath, Yogyakarta: C.V. Qalam, 2003

Abd al-Wahid al-Murakisy, al-Mujib fi Talkhish Akhbar al-Magrib. Cairo: Dar al-Sya’b, 1964.

Abu Dawud Sulaimân, Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence. New Delhi: Adam Publisher & distributor, 1994.

Ghazâlî, Muhammad bin Muhammad Abu Hâmid, al-, Al-Mustashfa fî ’Ilmi al-Ushûl. Kairo: Al-Matba’ah al-Amiriyah, 1324 H.

Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid. alih bahasa Imam Ghazali, dan Achmad Zaidun, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.

Ibnu Rusyd, Mukadimah Bidâyah al-Mujtahid. alih bahasa A. Hanafi, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih. alih bahasa Saefullah Ma’shum dkk., cet. IX, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005.

Muhammad Khudari Bik, Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.

Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles. Yogyakarta: Safiria Insania Press., 2004.

Umdah El-Baroroh, Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara Konservatisme dan Liberalisme, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=931.

Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 1994.

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd Averroes Filsuf Islam Terbesar di Barat. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.



[1] Surat Al-Ahzâb: 40.

[2] Muhammad Khudari Bik, Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 367.

[3] Usman Iskandar, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 1994), hlm. 113

[4] Muhammad bin Muhammad Abu Hâmid al-Ghazâlî, Al-Mustashfa fî ’Ilmi al-Ushûl, (Kairo: Al-Matba’ah al-Amîriyah, 1324 H), hlm. 242.

[5] Al-Sunnah yang terkenal mendukung ijtihad adalah riwayat percakapan antara Rasulullah dengan Mu‘âz Ibn Jabal ketika ditunjuk menjadi Gubenur ke Yaman. Diriwayatkan, Rasulullah bertanya kepada Mu‘âz tentang sumber yang akan dipergunakan dalam memerintah provinsi dan memutuskan perkara di sana. Mu‘âz menjawab, pertama-tama akan mencari dalam al-Qur’an, jika al-Qur’an tidak memberi jawaban, maka akan dicari dari sunnah Rasulullah, jika tidak ada al-Sunnah yang dapat diterapkan, ia akan menggunakan pendapat atau keputusan pribadi. Rasulullah menyetujui urutan-urutan sumber syariah itu. Abu Dawud Sulayman, Sunan Abi Dawud, Bab Ijtihad al-Ra`yi fi al-Qadha`, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.) juz III, hlm. 303, hadits ke 3692.

[6] Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, (New Delhi: Adam Publisher & distributor, 1994), hlm. 137.

[7] Muhammad Roy, Ushul Fiqih Madzhab Aristoteles, (Yogyakarta: Safiria Insania Press., 2004), hlm. 7.

[8] Ahmad Hasan, The Early Development, hlm. 140.

[9] Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes) Filsuf Islam Terbesar di Barat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 31.

[10] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, Mistikus, Fakih, dan Dokter, alih bahasa Khalifurrahman Fath, (Yogyakarta: C.V. Qalam, 2003), hlm. 29.

[11] Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid , alih bahasa Imam Ghazali, dan Achmad Zaidun, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 19.

[12] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 30.

[13] Tetapi kebenaran hubungan guru-murid secara langsung antara Ibnu Bajah-Ibnu Rusyd sangat diragukan. Mengingat Ibnu Rusyd lahir pada tahun 529 H, sedang Ibnu Bajah wafat tahun 533 H. Yakni ketika Ibnu Rusyd baru berumur 13 tahun. Tetapi kalau dikatakan Ibnu Rusyd berguru kepada Ibnu Bajah secara tidak langsung, yakni melalui buku karangannya, itu dapat diterima. Hal ini dapat dibuktikan dari komentar Ibnu Rusyd terhadap pendapat Ibnu Bajah yang ia tuangkan dalam beberapa buku karangannya. Ibid., hlm. 20.

[14] Abd al-Wahid al-Murakisy, al-Mujib fi Talkhish Akhbar al-Magrib, (Cairo: Dar al-Sya’b, 1964), hlm. 1-2.

[15] Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid , hlm. 24.

[16] Abbas Mahmud al-Aqqad, Ibnu Rusyd Sang Filsuf, hlm. 29.

[17] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 178.

[18] Ibnu Rusyd, Bidayâh al-Mujtahid, hlm. 110-114.

[19] A. Hanafi, Pengantar Filsafat, hlm. 179.

[20] Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, hlm. 119.

[21] Umdah El-Baroroh, Tadarus Ramadan JIL Seri III Fiqh Ibnu Rusyd: Antara Konservatisme dan Liberalisme, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=931, diakses tanggal 24 Oktober 2010.

[22] Ibnu Rusyd, Bidâyah al-Mujtahid, hlm. 316

[23] Ibnu Rusyd, Mukadimah Bidâyah al-Mujtahid , alih bahasa A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hlm. 8.

[24] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, alih bahasa Saefullah Ma’shum dkk., cet. IX, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), hlm. 340.

[25] Ibnu Rusyd, Mukadimah Bidâyah al-Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, hlm. 10.

[26] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, hlm. 164-165.

[27] Ibnu Rusyd, Mukadimah Bidâyah al-Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, hlm. 15.

[28] Ibnu Rusyd, Mukadimah Bidâyah al-Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, hlm. 16.

[29] Ibid., hlm., 17.