Pendahuluan
Allah menurunkan agama Islam kepada umat-Nya disertai dengan aturan-aturan (syarî’ah). Syarî’ah tersebut dibuat oleh Allah SWT agar manusia mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan Islam beserta aturan-aturan (hukum) yang dibuat oleh Allah SWT tersebut merupakan wahyu, diturunkan kepada para Nabi dan Rasul-Nya melalui perantaraan Malaikat Jibril. Sedangkan Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad SAW.
Pada saat kaum muslimin mengalami kemunduran dalam ilmu pengetahuan maka saat itulah banyak yang belum mengerti dan memahami hakikat sumber hukum Islam yang menjadi rujukannya dalam beragama. Pengetahuan mereka yang masih terbatas berpegangan pada sumber hukum Islam yang telah disepakati oleh ulama ushul fiqih yakni al-Qur‘ân dan al-sunnah serta ijmâ’ dan qiyâs. Namun itu hanya sekedar retorika keilmuan tanpa diketahui nilai dan hakikatnya, sehingga banyak ditemui beberapa tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut.
Tetapi sebagaimana yang telah diketahui bahwa ada beberapa hukum yang tidak diatur dalam nash al-Qur’ân dan atau al-Sunnah, sehingga para ulama berusaha untuk menemukan dan memberikan kepastian hukumnya dengan cara berijtihad (melakukan proses istinbâth hukum. Beberapa metode istinbâth[1] hukum yang dipakai oleh para imam mujtahid di atas, metode qiyâs mendapat tempat di hati sebagian besar ulama dan umat Islam karena berdasarkan kepada nash (al-Qur’ân dan al-sunnah) tertentu. Mayoritas ulama menerima qiyâs sebagai sumber hukum Islam yang keempat setelah al-Qur’ân, al-Sunnah dan ijmâ’ para sahabat. Sedangkan metode istinbâth hukum yang lainnya, termasuk mashlahah mursalah, istishhâb, istihsân dan sebagainya masih diperdebatkan keberadaannya.
Pengertian Mashlahah
Secara etimology mashlahah bermakna manfaat.[2]
Sedangkan secara terminology, banyak dari para ulama memberikan definisi mashlahah, seperti:
1. Imam Syâtibî menyatakan: “mashlahah adalah pemahaman mengenai perlindungan hak-hak manusia dengan cara menarik kemashlahatan dan menolak kerusakan, yang mana akal tidak bebas untuk menemukan sebuah keadaan, dan kesepakatan umat Islam bahwa jika didalam nash syar’î tidak dijumpai yang sesuatu mengandung mashlahah maka pendapat tersebut harus ditolak”.[3]
2. Ibn ‘Âsyûr menyatakan: “mashlahah adalah sifat perbuatan yang menghasilkan sebuah kemanfaatan yang berlangsung terus menerus dan ditetapkan berdasarkan pendapat mayoritas ulama”.[4]
3. Al-Thûfî: “mashlahah adalah suatu upaya hukum untuk mendatangkan sesuatu yang bermanfaat serta menghindarkan diri dari sesuatu yang madlarat tanpa perlu konfirmasi nash. Tolak ukur manfaat dan madarat ini bukan saja dikembalikan pada maksud syara’ tetapi juga dikembalikan kemanfaatan dan kebaikan manusia yang ditetapkan berdasarkan hukum adat”.[5]
Dari uraian tersebut maka sekiranya mashlahah yang mempunyai hubungan erat dengan syarî’ah.[6] Seperti:
1. Syarî’ah dibangun atas dasar kemashlahatan dan menolak adanya kerusakan di dunia dan akhirat, Allah memberi perintah dan larangan dengan alasan kemashlahatan.
2. Syarî’ah selalu berhubungan dengan kemashlahatan, sehingga Rasulullah SAW mendorong umatnya untuk melakukan kebaikan dan menjauhi kerusakan.
3. Tidak ada kemungkinan adanya pertentangan antara syarî’ah dan kemashlahatan.
4. Syarî’ah selalu menunjukkan pada kemashlahatan meskipun tidak diketahui keberadaan letak kemashlahatannya, dan Allah memberi kepastian bahwa semua kemashlahatan yang ada dalam syarî’ah tidak akan menimbulkan kerusakan.
Dari paparan pengertian diatas, baik dari tinjauan etimologi maupun terminologi kita bisa menarik konklusi bahwa yang disebut dengan mashlahah adalah suatu perbuatan hukum yang mengandung manfaat dan ketentraman bagi semua manusia atau dirinya sendiri terhadap jasmani, jiwa, akal serta rohani dengan tujuan untuk menjaga maqhâsid al-syari’ah. Keberpihakan mashlahah terhadap hukum memberikan nilai manfaat bagi manusia dalam menjalankan setiap perbuatan hukum far’iyyah. Sehingga essensi mashlahah adalah sebagai standar dalam memaknai hukum Islam secara universal, bukan diukur dengan logika manusia yang cenderung mengedepankan aspek rasionalitas dan mengagungkan akal dalam berpikir dan bertindak. Dengan demikian, mashlahah mursalah sebagai metode istinbânth mampu memberikan ruang gerak yang lebih luas dalam pembentukan hukum Islam pada permasalahan kontemporer.
Pembagian Mashlahah[7]
Dalam hal ini Mashlahat secara garis besar dibagi menjadi tiga bagian :
Pertama: Mashâlih Mu’tabiroh[8] yakni mashlahah yang secara langsung tekstual dijelaskan oleh nash atau ijmâ’ atau dengan hukum yang disepakati oleh nash dan ijmâ’ dan qiyâs. Dan mashlahah ini dibagi menjadi tiga: dhorûriyyah, hâjiyah dan tahsîniyyah.
1. Dhorûriyyah. Yakni mashlahah yang menjadi dasar dan yang terpenting bagi kehidupan beragama dan urusan dunia. Jika hilang keberadaannya, maka rusaklah kehidupannya, hilang kenikmatannya, dan akan mendapatkan kerugian diakhirat. Mashlahah dhorûriyyah ini dapat mencakup lima pokok tujuan syarî’ah (ushûlul khomsah): memeliharara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Contoh dari memelihara agama yaitu perintah untuk jihad dan memerangi orang-orang yang murtad, memelihara jiwa yaitu adanya hukuman qishâs bagi pelaku pembunuhan secara sengaja, memelihara akal yaitu adanya penerapan sanksi atas peminum khamr, memelihara keturunan yaitu hukuman bagi pelaku perbuatan zina dan memelihara harta yaitu adanya hukuman bagi pelaku pencurian dan pemotongan tangan bagi orang yang melakukannya. Semuanya ini berkaitan dengan kemashlahatan.
2. Hâjiyyah. Yakni mashlahah yang menjadikan manusia berupaya untuk menghilangkan kesulitan dalam kehidupan beragama dan urusan dunianya. Jika hilang keberadaannya, maka kehidupannya menjadi sempit dan mendapatkan kesulitan, tetapi tidak sampai menghancurkan kehidupannya maupun kerugian diakhirat. Seperti jual beli, sewa menyewa dalam hukum mu’âmalah, rukhsah dalam hukum ibadah, gugur kewajiban bagi perempuan yang haidh, nifas.
3. Tahsîniyyah. Yakni mashlahah yang menjadikan manusia berupaya untuk memperindah kebiasaan dan memuliakan akhlaknya, dan jika hilang keberadaannya, maka kehidupannya menjadi kurang indah dan kurang mempesona, tetapi tidak sampai menghancurkan kehidupannya maupun kerugian diakhirat. Seperti bersuci, memakai minyak wangi, berhias diri saat akan melakukan shalat, menjaga kebersihan lingkungan untuk kenyamanan dalam lingkungan kampus misalnya.
Kedua: mashâlih Mulghoh.[9] Dalam hal ini apabila ada bentuk kemashlahatan tetapi berbenturan dengan nash qath’î, maka menurut kesepakatan para ulama untuk tidak menggunakan dalam kehidupan karena sudah jelas ketidakabsahannya. Seperti persamaan perempuan dalam hak waris ini berbenturan dengan nash al-Qur’ân يوصيكم اللّه في أولادكم للذّكرمثل حظّ الأنثيين (surat al-Nisâ’: 11). Atau orang yang menambah hartanya dengan cara riba, karena Allah sudah menjelaskan وأحل اللّه البيع وحرّم الربي (surat al-Baqarah: 275).
Ketiga: Mashâlih Mursalah.[10] Mashlahah mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu mashlahah dan mursalah. Mashlahah sendiri seperti diuraikan diatas secara etimology berarti upaya mengambil manfaat dan menghilangkan kerusakan. Dari sini dapat dipahami, bahwa mashlahah mempunyai dua term: adanya manfaat dan menjauhkan kerusakan. Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak yaitu mashlahah yang secara khusus tidak ada uraian yang disampaikan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak adanya kaitan tersebut, maka mashlahah bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum. [11] Meskipun al-Qur’ân memuat kandungan hukum/konstitusi, tetapi tidak secara detail mengulas aspek juz’iyyat (terperinci). Tidak adanya nash khusus yang memerintahkan ataupun melarangnya menjadi alasan yang memungkinkan seseorang untuk menentukan hukum suatu permasalahan yang berkembang pada saat sekarang ini dengan tetap berpegang pada prinsip awal yaitu memberikan manfaat dan menghilangkan madharat. Seperti pengumpulan mushaf al-Qur’ân dan menyatukannya pada masa Abu Bakar serta dibukukan menjadi satu oleh pada zaman Utsman bin Affan sebagai refensi utama.
Kedudukan Mashlahah Mursalah
Penggunaan mashlahah mursalah sebagai proses istinbâth hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Menurut imam Ibn Taimiyyah: ”mendatangkan mashlahat dan menolak madharat adalah pokok ajaran Islam sebagaimana yang disepakati para ulama, tetapi mereka berbeda pendapat tentang kedudukan mashlahah mursalah, ada yang berpendapat bahwa hasil metode mashlahah mursalah dapat dijadikan sebagai dalil dan hujjah, ada juga yang menolaknya sebagai dalil karena menganggap mashlahah mursalah adalah proses logika atas hukum suatu masalah, dan diragukan kebenarannya apalagi mengikut sertakan hawa nafsunya. [12] Berikut ini adalah kedudukan mashlahah mursalah:
Pendapat pertama, menurut ulama Syâfi’iyah dan Zhâhiriyah bahwa mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan proses istinbâth hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil). [13] Dasar hukumnya adalah:
Adanya kewajiban kembali kepada dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam menyelesaikan suatu masalah, dan mashlahah mursalah tidak dianggap sebagai proses merujuk kepada dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah. Dengan demikian, mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan sebagai proses istinbâth hukum, apalagi proses istinbâth hukumnya dengan menggunakan logika yang salah dan hanya menuruti hawa nafsunya.[14]
Pendapat kedua, menurut ulama Hanafiyah, Mâlikiyah dan Hanâbilah bahwa Mashlahah mursalah dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). [15] Dasar hukumnya adalah:
1. al-Qu’rân
Firman Allah SWT فاعتبروا يا أولي الأبصار
Artinya: ”Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan”.[16] Allah memerintahkan kepada menusia untuk senantiasa menyelami hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’ân untuk menentukan syari’at yang tidak disinggung secara literal. Ini mengindikasikan tentang kebolehan umat Islam untuk berijtihad dengan melewati (mujawaz)teks sekalipun asalkan tidak bertujuan untuk mendekonstruksi ajaran Islam itu sendiri. [17]
Syarî’ah Islam dibangun atas dasar memelihara dan mewujudkan adanya lemashlahatan demi adanya kasih sayang dan kebahagiaan manusia. Sebagaimana dalam firman Allah SWT: وما أرسلناك إلاّ رحمة للعالمينArtinya: ”Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.[18] Atau dalam firman Allah yang lain: يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسرArtinya: ”Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”.[19] Kedua ayat tersebut menunjukkan adanya kemashlahatan dalam syarî’ah Islam, artinya kedudukan mashlahah mursalah adalah sebagai ta’lil ahkam dan menjadikannya sebagai proses istinbâth hukum diperbolehkan adanya.
2. al-Sunnah
Rasullullah SAW memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk melakukan ijtihad dalam tataran makna nash Al-Qur’ân yang global tatkala nash secara eksplisit tidak menerangkan secara jelas masalah tersebut tersebut, Rasulullah SAW menetapkan metode ijtihad ini kepada umat setelahnya dan memberikan ruang selual-luasnya selama masih dalam batasan yang sesuai. Contohnya dalam hadits yang sudah terkenal yakni tatkala Rasulullah SAW. memberikan persetujuan terhadap ijtihad Mu’adz bin Jabal yang terjadi saat hendak mengirimnya ke Yaman sebagai seorang hakim. Rasulullah SAW. bertanya: “Apa yang engkau lakukan apabila diajukan kepadamu sesuatu perkara? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku akan menetapkan hukum dengan kitab Allah”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku menetapkannya dengan Sunnah Rasulullah”. “Dan jika tidak ada pula dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku berijtihad dengan sungguh-sungguh”. Kemudian itu Mu’adz bin Jabal bercerita: kemudian Rasulullah SAW menepuk dadaku dengan seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah, terhadap jalan yang disukai oleh Rasulullah”. [20]
Pada kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: “Bila seorang Hakim memutuskan sesuatu perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan bila hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” [21]
Kedua hadits diatas menunjukkan flexibelitas Rasulullah SAW yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada umat Islan untuk berpikir dengan mengerahkan segala daya upayanya dalam rangka menentukan hukum baru. Karena Islam juga berkembang pesat diluar wilayah geografik dan linguistik arabiyah, sehingga kesempatan yang diberikan oleh Rasulullah harus benar-benar dimanfaatkan oleh segenap umat islam. Perizinan beliau merupakan langkah positif dalam memajukan dan mendinamisasikan hukum Islam sehingga dapat diterima oleh umat tanpa keraguan.
3. Perbuatan Sahabat[22]
Kesepakatan para sahabat untuk menghimpun mushhaf Al-Qur’ân pada masa Abu Bakar yang tidak dijelaskan secara khusus oleh dalil atas pekerjaan tersebut. Kesepakatan para sahabat untuk menghukum orang yang minum khamr dengan 80 kali cambukan (jaldah). Sehingga Sayyidina Ali berkata “orang yang mabuk menyebabkan tidak sadar, dan orang yang tidak sadar suka melakukan kebohongan, maka aku berpendapat untuk menghukum bagi pendusta”.
Khulafaur Rasyidin memutuskan untuk membayar para pekerja/pengrajin (shanā’a). Sahabat memutuskan hukuman (dibunuh) sekelompok orang oleh seorang jika mereka bekerjasama dalam pembunuhan terhadap satu orang tersebut.
4. Logika[23]
Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa pola kehidupan manusia selalu dinamis dan konstitusi Islam telah mencapai titik final yakni berupa al-Qur’ân dan al-sunnah. Dengan berbagai kejadian selalu mengalami perubahan dengan kadar yang berbeda, dan peristiwa yang terjadi itu tidak bisa begitu saja lepas dari syariat karena aturan dalam Islam selalu bersinergi dengan ruang dan waktu sehingga keberadaan mashalahah mursalah merupakan perwujudan proses istinbâth hukum yang dibutuhkan dalam menentukan kepastian hukum atas suatu masalah.
Menurut syaikh al-Syinqîthî mempunyai pandangan yang menarik dalam menengahi kedua pendapat diatas: ”para sahabat menggunakan mashlahah mursalah sebagai metode berpikir dalam menemukan dan menetapkan hukum karena proses berpikir ini selalu menjauhkan dari upaya mendatangkan madharat, dan semua madzhab berkaitan erat dengan mashlahah mursalah meskipun mereka yang tidak setuju tidak memberikan nama mashlahah mursalah. Tetapi dalam metode istinbâth hukumnya mereka mewujudkan diri dan mengatasnamakan pada kemashlahatan sebagai upaya untuk memelihara keberlangsungan hukum Islam”.[24] Dengan demikian perbedaan yang dimiliki dari kedua kelompok diatas yang terlihat saling bertentangan ternyata hanya berbeda dalam memberikan definisi yang sesuai, ada yang memberikan nama mashlahah mursalah dan ada yang menamakannya sebagai qiyâs.[25] Sehingga kedua belah pihak mempunyai kesamaan dalam kerangka berpikir yakni dalam menetapkan hukum harus mempunyai nilai manfaat dan mencegah adanya kerusakan. Nilai manfaat ini harus timbul berkesesuaian dengan nash al-Qur’ân dan al-Sunnah serta nilai maqâshid syari’âh. Artinya, Islam sangat memberikan ruang lebih terhadap kepentingan kemashlahatan umatnya, demi menjamin kebutuhan primer (dharûriyât) manusia.
Mashlahah dapat dikategorikan sebagai dasar dalam pertimbangan hukum tetapi tantangan yang terberat yang harus dihadapi adalah keseriusan dalam membaca dan memahami ketentuan syara’ dalam menghargai mashlahah, hal ini dikarenakan sesuatu yang di pandang mashlahah oleh akal manusia tidak secara otomatis dipandang mempunyai nilai mashlahah menurut ketentuan syara’. Misalnya dalam kasus hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi (yang sudah diterapkan di Republik Rakyat China, dan belum diterapkan di Republik Indonesia). Padahal dalam hukum Islam dalam menetapkan hukuman bagi pelaku pencurian adalah hukuman potong tangan seperti dalam ayat[26] السارق والسارقة فاقطعوا أيديهما. Hal ini dalam menetapkan hukuman mati bagi koruptor dapat memberikan efek jera baginya dan bagi masyarakat agar menghidari praktek korupsi, sehingga menjadikan Islam sebagai agama rahmatan lil alamîn.
Syaral-Syarat Mashlahah Mursalah
Mashlahah mursalah mempunyai persyaratan yang jelas untuk dijadikan sebagai proses istinbâth hukum:
1. Mashlahah ini tidak berbenturan dengan dalil nash maupun ijmâ’.[27]
2. Mashlahah ini keberadaannya harus berpijak pada pemeliharaan maqâshid syarî’ah.[28]
3. Sebuah kemashlahatan tidak dapat merubah ketetapan hukum yang sudah ada yakni dalam dalil nash dan ijmâ’, seperti menjalankan kewajiban, mengharamkan sesuatu yang haram, sanksi hukum. [29]
4. Sebuah kemashlahatan tidak dapat berbenturan dengan kemashlahatan lain yang lebih unggul dan kuat keberadaannya. [30]
Sedangkan menurut syaikh Wahbah Zuhaili syaral-syarat mashlahah mursalah adalah[31]:
1. Mashlahah mursalah harus berkesesuaian dengan maqâshid syarî’ah sehingga tidak menghilangkan keberadaan dalil nash maupun ijmâ’ yang bersifat qath’î. Dan juga berkesesuaian dengan mashlahah yang telah ditunjukkan keberadaannya oleh Allah dan RasulNya. Kemashlahatan yang diambil sebagai hukum itu sifatnya tidak aneh maupun mengada-ada. Maka keberadaan mashlahah yang mempunyai sifat mengada-ada dan tidak jelas maksudnya harus ditolak. Seperti seorang yang kaya raya menyetubuhi istrinya di siang hari bulan ramadhan, maka dia harus puasa dua bulan berturut-turut dan tidak ada alasan demi kemashlahatan kemudian dia mengganti puasanya dengan memerdekakan budak.
2. Mashlahah mursalah harus rasional. Yakni ketika dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa menerimanya yakni dengan mendatangkan manfaat dan menolak kerusakan, seperti: saat ingin mengajukan perjanjian kredit dalam perekonomian perbankan harus diadakan survey rumah tinggal, pekerjaan dan penghasilan bulanan, hal ini adalah untuk menghindari adanya penipuan, sehingga perjanjian yang dilakukan mendatangkan manfaat bagi kedua belah pihak dan menjauhkan dari kemadharatan.
3. Mashlahah mursalah harus universal. Yakni harus mencakup semua kalangan umat Islam tidak boleh hanya untuk kepentingan sebagian orang. Karena syarî’ah Islam datang demi kepentingan seluruh umat dan tidak membeda-bedakan jenis rasa, suku, bangsa dan agama. Seperti memberikan perlakuan khusus bagi orang dari suku X karena dia satu suku dengan presidennya, gubernurnya, menterinya dan sebagainya, hal ini tidak dapat disebut sebagai mashlahah.
Contoh Pelaksanaan Mashlahah Mursalah
1. Pemberian upah minimum bagi pekerja sektor riil. Ketika melihat pada nash, maka tidak dijumpai mash yang menunjukkan pada hukum masalah, al-Qur’ân dan al-sunnah tidak memberi perintah kepada masalah ini, tetapi hal ini menjadi kebutuhan penting bagi para pekerja sektor riil seperti pekerja pabrik, karyawan supermarket dan sebagainya yang bekerja selama delapan jam lebih, dan mereka berhak mendapatkan upah yang layak untuk mencukupi kebutuhan makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal. Sehingga negara dalam hal ini pemerintah Republik Indonesia wajib memberikan upah minimum yang layak bagi para pekerja tersebut, demi kemashlahatan atas kehidupannya.
2. Memasang rambu-rambu lalu lintas, lampu isyarat, lampu penerangan jalan, dalam nash tidak dijumpai adanya perintah ini, tetapi demi kemashlahatan dan kenyamanan pengendara kendaraan maka harus dipasang rambu-rambu lalu lintas tersebut dan demi menghindari kerusakan, seperti kecelakaan, perampokan dan sebagainya.
3. Membuat kartu tanda penduduk, paspor, surat nikah sebagai identitas dari seseorang, kemashlahatannya adalah untuk mengetahui identitas yang jelas dari pemegang surat tersebut demi keberlangsungan hidup, hal ini juga demi menghindari kerusakan misalnya saat seseorang tersesat dijalan dan tidak mempunyai identitas sama sekali maka akan menyulitkan bagi orang lain untuk memberi tahu dimana keberadaannya (walaupun hal ini bisa diumumkan melalui media audio visual).
4. Memberikan hukuman mati dan hukuman potong tangan bagi terpidana Koruptor mempunyai arti penting dalam prespektif mashlahah mursalah, karena hal ini memberikan nilai manfaat yang lebih dalam rangka menjaga kewibawaan maqâshid syari’âh yakni memelihara harta, sehingga memberikan efek jera yang luar biasa kepada masyarakat untuk melakukan tindakan preventif dari melakukan tindak pidana korupsi.
Penutup
Mashlahah mursalah menurut istilah ulama ushul adalah kemashlahatan yang secara syara’ tidak dibuatkan hukum dalam mewujudkannya, keberadaannya dikarenakan ketidakadaan dalil syara yang menunjukan dianggap atau tidaknya kemashlahatan itu. Seperti kemashlahatan yang diharapkan oleh para sahabat dalam menetapkan penjara, percetakaan uang, tanah pertanian hasil penaklukan para sahabat ditetapkan sebagai pemiliknya dengan berkewajiban membayar pajak. Hal ini menunjukkan bahwa penetapan suatu hukum itu tidak lain kecuali untuk menerapkan nilai kemashlahatan umat manusia, yang berupa menarik suatu manfaat, menolak bahaya atau menghilangkan kesulitan umat manusia. Artinya kemashlahatan inilah yang dijadikan acuan syara’ dalam menetapkan hukum dan menjadi illat dalam penetapannya. Seperti: hukum pidana qishash sebab pembunuhnya yang disengaja wajib diberlakukan demi menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian, mashlahah mursalah muncul karena dituntut oleh lingkungan, realitas kehidupan dan hal-hal baru setelah ketiadaan nash yang menerapkan dalam suatu hukum.
Tujuan awal dari penerapan syarî’ah Islam adalah untuk mewujudkan serta menjaga kemaslahatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Dan Maslahah sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu mashâlih mu’tabarah, mashâlih mulghoh dan mashâlih mursalah.
Mashlahah mursalah ini sebagai proses istinbâth hukum yang dibenarkan keberadannnya oleh para ulama meskipun ada perbedaan dalam penamaannya, ada yang menamakan mashlahah mursalah dan ada yang menamakannya qiyâs. Mashlahah mursalah bisa kita interpretasikan sebagai upaya untuk mengambil manfaat dan menghilangkan mafsadat dengan tetap berpijak pada maqâshid syarî’ah melalui pendekatan rasional yang akan menghasilkan produk hukum untuk dijadikan undang-undang dalam merespon permasalahan yang berkembang disebabkan pergeseran situasi, kondisi dan waktu. Para ulama sepakat bahwa mashalihul mursalah tidak boleh diterapkan pada aspek ibadah yang sudah final.
Konsep mashlahah ini perlu diberikan derajat dan posisinya menjadi metode sentral ushul fiqih. Hal ini dikarenakan semua bentuk pemahaman terhadap nash juga didasarkan pada dimensi maslahah, yakni mendatangkan nilai kemanfaatan dan/ atau menghindarkan kemafsadatan (Jalb al-Mashâlih wa Dar’u al-Mafâsid), dan apabila kita melihat pada kaidah fiqihiyyah al-kulliyyyat al-khamsah, dapat diringkas dalam jalb al-mashâlih (menggali atau mendatangkan kemaslahatan).
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI. Al-Qur’ân dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.
Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh Baghdad: Muassasah Qurthûba, 1976.
Abu al-Thayyîb Muhammad Syams al-Haqq, Awn al-Ma’bad Syarh Sunan Abu Dawud Beirut: Dâr al-Fikr, 1399.
Al-Jurjânî Muhammad, al-Ta‘rîfât, Jeddah: al-Haramain, t.t
Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984.
Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahih Bukhari Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407.
Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah,
- Ighôtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithôn Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.
- I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn Beirut: Dâr al-Jail, tt.
Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukâb al-Munîr Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jâmi’ah Umm al-Qura’, tt.
Ibn ’Âsyûr, Muhammad Thâhir, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah Beirut: Muassasah Fuâd, 2004.
Ibn Hazm Muhammad bin Muhammad al-Zhâhirî, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.
Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisân al-‘Arab Beirut: Dâr Shadr, tt.
Ibn Qudâmah Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399.
Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatâwa Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404.
Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996.
Qarâfî, Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahmân ash-Shonhajî Syihâbuddîn al-, Anwâr al-Burûq fî Anwâi al-Furûq Beirut: ‘Âlim al-Kutub, tt.
Qurthûbi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.
Syâtibi, Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-, Al-I’tishâm Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.
Sulaimân bin Abdulqawî bin Abdulkarim Najâmuddîn Al-Thûfî, Syarh al-Arba’în nawawi Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1945.
Syinqîthî, Muhammad al-Amîn al-, Al-Mashâlih al-Mursalah Madinah: Markaz Syuûn al-Da’wah bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 1410.
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh Beirut: Dâr al-Fikr, 1999.
[1] Secara bahasa, kata istinbâth (استـنـباط) berarti mengambil air dari sumber mata air. Adapun menurut istilah syara‘, ialah menggali dan menetapkan hukum berdasarkan pengertian yang dipetik dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan. Lihat: Muhammad al-Jurjânî, al-Ta‘rîfât (Jeddah: al-Haramain, t.t), hlm, 22.
[2] Muhammad bin Mukim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz IV, hlm., 2479.
[3] Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-Syâtibi, Al-I’tishâm (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.), juz II, hlm., 113.
[4] Muhammad Thâhir bin ’Âsyûr, Maqâshid al-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Beirut: Muassasah Fuâd, 2004), Juz II, hlm., 297.
[5] Sulaimân bin Abdulqawî bin Abdulkarim Najâmuddîn Al-Thûfî, Syarh al-Arba’în nawawi (Kairo: Dâr al-Fikr al-’Arabî, 1945), hlm., 18.
[6] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz III, hlm., 3. Lihat: Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz XI, hlm., 344, 345.
[7] Abdullah bin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 165. Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr (Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.), juz IV, hlm., 433.
[8] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm., 92-93.
[9] Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh (Baghdad: Muassasah Qurthûba, 1976), hlm., 237.
[10] Ibid.
[11] Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahmân ash-Shonhajî Syihâbuddîn al-Qarâfî, Anwâr al-Burûq fî Anwâi al-Furûq (Beirut: ‘Âlim al-Kutub, tt.), Juz VII, hlm., 124.
[12] Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz XI, hlm., 344.
[13] Muhammad bin Muhammad bin Hazm al-Zhâhirî, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), Juz VIII, hlm., 583. lihat: Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 93-94.
[14] Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984), Juz III, hlm., 134.
[15] lihat: Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 93-94.
[16] surat al-Hasyr: 2.
[17] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthûbi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.), Juz XVIII, hlm., 5.
[18] surat al-Anbiyâ’: 107.
[19] surat al-Baqarah: 185.
[20]Abu Al-Thayyîb Muhammad Syams al-Haqq, Awn al-Ma’bad Syarh Sunan Abu Dawud (Beirut: Dâr al-Fikr, 1399), Juz VI, hlm., 272.
[21] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407), Juz XIII, hlm., 318. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), Juz V, hlm., 131.
[22] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 94-95.
[23] Ibid, hlm., 94.
[24] Muhammad al-Amîn al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah (Madinah: Markaz Syuûn al-Da’wah bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah, 1410), hlm., 21.
[25] Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm., 170.
[26] surat al-Mâidah’: 38.
[27] Al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah, hlm., 21.
[28] Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz XI, hlm., 343.
[29] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, Ighôtsah al-Lahfân min Mashâyid al-Syaithôn (Beirut: Dâr al-Ma’rifah, tt.), Juz I, hlm., 330.
[30] Al-Syinqîthî, Al-Mashâlih al-Mursalah, hlm., 21.
[31] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 94-95.
jazakumullah khioron....
BalasHapus