Jumat, 11 Februari 2011

KONSEP ISTINBATH DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

Pertama: Pengertian, Rukun, Syarat, dan Obyek Ijtihad

1. Pengertian Ijtihad

a. Menurut kebahasaan berarti: mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. [1]

b. Sedang menurut istilah para ulama banyak mengungkapkan makna istilah ijtihad dan kebanyakan tidak berbeda jauh dari pengertian yang diberikan oleh ulama satu dengan yang lainnya. Dibawah ini sebagian dari pengertian ijtihad menurut istilah:

Ø Menurut DR. Moh. Rifai:

الإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ حُكْمٍ ِشرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.

Artinya: “Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah”.[2]

Ø Menurut M. Ali Hasan ialah: “Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad”.[3]

Ø Kata ijtihad juga mempunyai makna khusus dalam Islam, yaitu “pencurahan segala kemampuan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum Syarak yang amali melalui penggunaan sumber syarak yang diakui”.[4]

Ø Dalam definisi yang lain disebutkan, ijtihad adalah “pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’”.[5]

Ø Menurut Fazlur Rahman, ijtihad refers to the striving of the jurists to the point of mental exhaustion to derive principle and rules of law from evidence found in the sacred texts of sources.[6]

Dari pengertian diatas mencakup aspek-aspek dibawah ini:

  1. Ijtihad berarti pengerahan segala kemampuan berfikir dalam meneliti sebuah dalil hukum syara’, ijtihad lebih umum daripada methode qiyas karena qiyas hanyalah menganalogikan masalah furu’iyyah dengan hukum asalnya, sehingga ijtihad mencakup methode-methode pencarian hukum Islam seperti qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan sebagainya.
  2. Upaya pengerahan segala kemampuan berfikir ini harus dilakukan oleh seorang yang benar-benar ahli dalam bidang keilmuannya.
  3. Hasil pemikiran ijtihadi ini dapat dikategorikan sebagai hukum Qath’iyyah (hukum yang pasti) maupun Dzanniyah (hukum yang masih bisa diperdebatkan kepastian hukumnya).
  4. Kata “istinbath” merupakan kata yang harus masuk dalam pengertian ijtihad, istinbath adalah upaya untuk menemukan hukum Allah SWT. Sehingga tidak bisa disebut sebagai tasyri’ karena tasyri’ merupakan sumber hukum utama yakni Al-Qur’an dan As-sunnah. Jadi ijtihad merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh mujtahid. [7]

Dari berbagai pengertian diatas, penulis mencoba memberikan sebuah ringkasan mengenai makna ijtihad secara istilah yang berarti: “ pengerahan segala kemampuan berfikir yang dilakukan oleh seseorang ahli dalam bidang keilmuannya dalam rangka mendapatkan sebuah pengetahuan hukum syara’ melalui penggunaan sumber hukum syara’ yang diakui”

Dengan demikian ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran karena belum jelas maksudnya). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.

2. Rukun-rukun ijtihad:

Sedangkan rukun-rukun yang ada dalam ijtihad adalah sebagai berikut:

  1. Mujtahid : seorang ahli fiqh yang mempunyai persyaratan-persyaratan sebagai mujtahid.
  2. Mujtahid Fiih: adanya sebuah kasus yang dimintai hukumnya dengan melalui indera atau istinbath, hal itu sebab adanya ketidakjelasan hukum dalam nash-nash atau sebab adanya dalil-dalil yang saling bertentangan.
  3. Pengamatan dan pengerahan kemampuan: aktifitas mujtahid yang menghantarkannya untuk mendapatkan sebuah hukum[8].

3. Syarat Ijtihad

Tidak semua orang dapat berijtihad begitu saja dan mengeluarkan fatwa. Untuk mencapai derajat Mujtahid, seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Diantara syarat-syarat utama mujtahid [9] itu adalah:

a. Menguasai bahasa Arab. Mujtahid haruslah mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia dapat membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, mujmal, haqiqat, majaz, umum, khusus, muhkam, mutasyabih, muthlaq, muqoyyad, nash, serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.

b. Mengetahui Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an serta Asbabun Nuzul, dan seluk beluk ayat-ayat hukum.

c. Mengerti Sunnah (Hadits) serta Asbabul Wurud. Mujtahid haruslah mengerti seluk beluk hadits dan perawinya secara umum.

d. Mengerti ijma’ dan ikhtilaf. Mujtahid haruslah mengetahui ijma’ para ulama dan dasar-dasarnya. Dan mujtahid juga harus mengetahui hal-hal ikhtilaf beserta seluk-beluknya.

e. Mengetahui Qiyas. Mujtahid haruslah mengetahui jalan-jalan qiyas yang benar. Bahkan boleh dikatakan bahwa ijtihad itu adalah Qiyas itu sendiri.

f. Mengetahui maksud-maksud hukum.

g. Telah baligh serta mempunyai pemahaman dan penalaran yang benar.

h. Mempunyai Aqidah dan niat yang benar.

Sedangkan syarat kelaziman yang harus dimiliki mujtahid adalah sebagai berikut:

a. Permasalahan yang sedang dibahas tidak ada dalil nash yang menunjukkan hukumnya dan juga tidak ada ijma ulama. Maksudnya adalah apabila ada permasalahan tetapi tidak ada nash bisa dilakukan ijtihad. Akan tetapi jika ditemukan dalil nash maka dalil nash tersebut bersifat Dzanniyah. [10] Sehingga apabila ditemukan dalil nash Qath’iyyah secara otomatis upaya ijtihad harus dibatalkan. [11]

b. Apabila dalam sebuah permasalahan yang sedang dibahas ditemukan dalil nash maka dalil nash tersebut harus bersifat Dzanniyah dan bisa dimungkinkan untuk di ta’wil. Contohnya sabda Rasulullah SAW:

لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة

Artinya: “seseorang tidak dibolehkan shalat ashar kecuali didalam (kampung) bani quraidhah”.[12]

Sebagian sahabat memahami teks hadits ini secara dhahir al-lafdzi dengan berpendapat bahwa hanya khusus untuk bani quraidhah dibolehkan melakukan shalat ashar walaupun sudah habis waktunya ashar. Ada sahabat lain yang berpendapat: dalam hadits ini diperintahkan kepada kita untuk mempercepat kendaraan dan saat tiba di kampung bani quraidhah masih bisa menjalankan shalat ashar.[13]

Dengan demikian, kita tidak dapat memungkiri adanya kedua pendapat menurut pemahaman masing-masing. Dan terkadang kita berselisih pendapat dalam menentukan apakah dalil ini nash qath’iyyah atau nash yang bersifat dlahir? Apabila nash tersebut bersifat dlahir apakah diperbolehkan atau tidak menghilangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada yang lebih unggul kedudukannya? [14]

c. Permasalahan yang dibahas bukan dalam bab Akidah, karena ijtihad khusus membahas permasalahan ibadah dan muamalah. [15]

d. Permasalahan yang sedang dibahas merupakan permasalahan kekinian, yang kadang terjadi disekitar kita dan harus segera didapatkan kepastian hukumnya, sehingga permasalahan tidak berlarut-larut. Apabila mengeluarkan pendapat sebelum terjadinya permasalahan dengan menyibukkan diri dalam berangan-angan dan berkhayal. Maka hal tersebut tidak disukai oleh jumhur ulama karena dianggap mendahului sunnatullah dan meninggalkan sumber hukum utama Al-Qur’an. [16]

4. Objek Ijtihad

Menurut Imam Ghazali[17], objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qath’iyyah. Dengan demikian, syariat Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian.

a. Syariat yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad yaitu, hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil qath’iyyah, seperti kewajiban melaksanakan rukun Islam, atau haramnya melakukan zina, mencuri dan lain-lain.

b. Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat dzanniyyah, serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.

Kedua: Ruang Gerak Ijtihad dan Keabsahannya

Alquran dan Sunnah merupakan perwujudan syari’at Islam, selain mengandung petunjuk dan bimbingan untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang Allah Swt. dan alam gaib, serta untuk mengembangkan potensi manusiawi atas dasar pemahaman keimanan untuk mewujudkan manusia yang saleh. Juga merupakan sumber hukum tertinggi dalam syari’at Islam.

Lebih dari itu, di dalam Alquran dan Sunnah juga terdapat materi-materi hukum, terutama yang mengatur masalah ibadah dan pokok-pokok permasalahan mu’amalat. Sebagian materi hukum dalam Alquran dan Sunnah sudah berbentuk diktum yang otentik (tidak mengandung pengertian lain), atau sesudah diberi interpretasi otentik dalam Sunnah itu sendiri. Materi hukum seperti ini disebut qath’iyah dan tidak membutuhkan ijtihad.

Ruang gerak dan jangkauan ijtihad, yaitu yang tidak mempunyai interpretasi otentik dari sunnah yang disebut “dzanniyyat”. Dalam hal ini menimbulkan berbagai interpretasi. Karena itu, ia bersifat mukhtalaf fih, menampung terjadinya perbedaan pendapat dilakangan para ahli/mujtahid. Dengan demikian, menimbulkan adanya variasi. Dalam pelaksanaan sesuatu ketentuan hukum yang tidak qath’iyyah. Di sinilah letak kemudahan penerapan syari’at Islam itu sesuai dengan situasi dan kondisinya, baik yang bersifat perseorangan maupun masyarakat, yang senantiasa berubah dan berkembang.

Ijtihad, seperti yang telah disebutkan di atas, berfungsi memperoleh hukum syarak tingkat dzanniyyah[18] yang maksudnya tingkat kebenaran itu tidak mutlak. Namun sudah berupaya untuk mencapat kebenaran sesuai dengan maksud dan tujuan Alquran dan Sunnah.

Ada Sebuah contoh dalam firman Allah SWT:

artinya :“dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.[19]

Dari ayat ini dapat kita pahami sebagai dasar bolehnya ijtihad. Dalam ayat ini disinggung tentang penentuan arah Kiblat. Orang yang berada di sekitar Masjidil Haram secara langsung melihatnya jadi tidak ada kemungkinan salah. Sedangkan orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, dapat menentukan arah kiblatnya berdasarkan ijtihad melalui petunjuk seperti bintang di langit, arah angin dan sebagainya. Atas usaha yang maksimal ia boleh menghadap ke arah mana yang meskipun arah ia temukan itu ternyata berbeda dari yang ditemukan orang lain. Namun kewajiban telah dilaksanakan.

Atau dalam hadits yang sudah terkenal yakni tatkala Rasulullah SAW. memberikan persetujuan terhadap ijtihad Mu’adz bin Jabal yang terjadi saat hendak mengirimnya ke Yaman sebagai seorang hakim. Rasulullah SAW. bertanya: “Apa yang engkau lakukan apabila diajukan kepadamu sesuatu perkara ? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku akan menetapkan hukum dengan kitab Allah”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku menetapkannya dengan Sunnah Rasulullah”. “Dan jika tidak ada pula dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku berijtihad dengan sungguh-sungguh”. Kemudian itu Mu’adz bin Jabal bercerita: kemudian Rasulullah SAW menepuk dadaku dengan seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah, terhadap jalan yang disukai oleh Rasulullah”. [20]

Dalam hadis lain Nabi Saw. juga bersabda yang artinya: “Bila seorang Hakim memutuskan sesuatu perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan bila hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” [21]

Dalam Alquran kita disuruh untuk berpikir dan menyelesaikan segala persoalan dengan jalan yang terbaik seperti dalam firman Allah SWT:

artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.[22] Atau dalam firman Allah SWT yang lain:

artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”. [23]

Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.

Dari dalil-dalil di atas dapat kita pahami bahwa pemakaian al-ra’yu dalam memahami nash dapat dibenarkan. Terlepas dari perbedaan interpretasi tantang nash itu, secara historis hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada sahabat-sahabatnya.

Ketiga : Hukum Melakukan Ijtihad

Dalam masalah ini ada dua aspek pembahasan yang akan disampaikan, pertama: hukum melakukan ijtihad secara umum, kedua: hukum melakukan ijtihad secara khusus. Dan penjelasannya adalah sebagai berikut :

a. Hukum melakukan ijtihad secara umum diperbolehkan menurut pendapat jumhur ulama. [24] Hal tersebut dikkuatkan oleh pendapat imam Ibn Taimiyyah yang menyatakan: “secara umum, dalam kesepakatan para ulama adanya kebolehan untuk melakukan ijtihad”. [25]

Dalil nash yang menunjukkan kebolehan tersebut adalah :

Ø Firman Allah SWT :

Artinya: “dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)” [26]

Kalimat menunjukkan keberadaan Nabi Dawud as. dan Nabi Sulaiman as. yang sedang mengeluarkan pendapatnya dalam kisah tanaman diatas, keduanya mengeluarkan pendapat yang berbeda. Walaupun merupakan wahyu Allah SWT, saat itu tidak menutup kemungkinan ada perbedaan pendapat. Hal itu menunjukkan betapa kedua nabi tersebut telah melakukan ijtihad. Kemudian dikuatkan dengan kalimat “فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ” Allah SWT mengkhususkan kepada Nabi Sulaiman as. dengan memberikan pemahaman hukum yang lebih tepat. [27]

Ø Hadits Rasulullah SAW :

إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران، وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر

Artinya: “Bila seorang Hakim memutuskan sesuatu perkara lalu ia melakukan ijtihad, kemudian hasilnya benar, maka ia memperoleh dua pahala. Dan bila hasilnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” [28]

Ø Diantara contoh ijtihad dizaman Rasulullah SAW adalah sebagai berikut :

Saat beliau mengambil tebusan dari tawanan perang badar. [29] Allah SWT berfirman untuk memperingatkan hasil ijtihad beliau :

Artinya: “tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi”. [30]

Ijtihad sahabat Saad bin Muadz saat memutuskan perkara di bani quraidlah. Rasulullah SAW bersabda: “kamu telah memutuskan perkara sesuai dengan hukum Allah SWT”. [31]

b. Hukum melakukan ijtihad secara khusus

Ada beberapa hukum yang banyak dalam berijtihad, hal ini disesuaikan dengan kemampuan mujtahid saat berpikir mengerahkan kemampuannya dalam memutuskan sebuah permasalahan, disesuaikan juga dengan macam permasalahan yang muncul, sesuai dengan kebutuhan, dan sesuai dengan masa terjadinya permasalahan tersebut.

Ø Wajib : jika seorang mujtahid mempunyai kompetensi (berdasarkan syarat-syarat mujtahid diatas) maka wajib memberikan keputusan ijtihadi saat terjadi permasalahan yang sangat penting untuk segera mendapatkan kepastian hukum dengan alasan agar permasalahan tidak menjadi berlarut-larut tanpa hukum yang berlaku.

Ø Sunah : jika seorang mujtahid mempunyai kompetensi, maka disunahkan memberikan keputusan ijtihadi saat terjadi permasalahan yang tidak terlalu mendesak dalam mendapatkan kepastian hukum dan diberikan kesempatan waktu yang banyak untuk berijtihad.

Ø Haram : jika seorang mujtahid tidak mempunyai kompetensi sama sekali, maka diharamkan memberikan keputusan ijtihadi saat terjadi permasalahan yang penting maupun yang tidak penting. Atau jika dia mempunyai kompetensi tetapi permasalahan yang terjadi tidak dimungkinkan untuk dilakukan ijtihad sebab hukumnya sudah ada dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’.

Ø Makruh : jika seorang mujtahid mempunyai kompetensi tetapi permasalahan yang terjadi sudah terlalu lama kejadiannya.

Ø Mubah : jika seorang mujtahid mempunyai kompetensi dan permasalahan yang terjadi masih bisa tidak terlalu lama kejadiannya, dan waktu untuk berijtihad masih banyak. [32]

Tingkatan Mujtahid

a. Mujtahid mustaqil : adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab.

b. Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam.

c. Mujtahid muqoyyad / mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya

d. Mujtahid tarjih adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukum dan lain-lain, namun kalau dibandingkan dengan mujtahid di atas ia tergolong masih kurang.

e. Mujtahid fatwa : adalah orang yang hafal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai persoalan yang sudah jelas maupun yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas.

Penutup

Dengan mengetahui ijtihad sebagai methode istinbath al-ahkam, diharapkan mampu untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sering kali muncul. Berijtihad merupakan rahmat bagi umat manusia, sehingga saat benar dalam mengambil keputusan maka akan mendapatkan dua pahala, dan andai melakukan kesalahan maka hanya mendapat satu pahala saja. Dalam masalah terakhir ini Syekh Hudhori Biek berpendapat bahwa pendapat yang rajih/ kuat adalah bahwa Allah SWT mempunyai hukum tertentu dalam setiap perkara dan terdapat dalil atasnya. Maka barangsiapa berhasil mendapatkannya, ia pun telah bertindak tepat. Dan barangsiapa yang melakukan kesalahan sesudah mencurahkan tenaga, maka iapun dianggap salah, hanya saja ia diberi pahala untuk ijtihadnya, dan dibebaskan darinya dosa dan kesalahannya.

Daftar pustaka

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. (Surabaya: PT Mahkota, 2004 M)

Abu At-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq. Awn al-Ma’bad Syarth Sunan Abu Dawud. (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M), Cet.I

Al-Amidy, Ali bin Muhammad. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967)

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H)

Al-Fayumi, Ahmad bin Ahmad. Al-Mishbah Al-Munir Fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir. (Beirut: Al-maktabah Al-Ilmiyah, t.th.)

Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Abu Mohannad An-Najdi, 1427)

Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin ali bin Tsabit. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400 H)

Asy-Syintiqhi, Muhammad Al-Amin. Mudzakkirah Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Al-Maktabah As-Salafiyah, 1393 H)

Fazlur Rahman, Post Formative Developments in Islam. (Karachi: Islamic Studies,1962)

Ibn An-Najjar, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz, Al-Futuhi. Syarah Al-Kaukab Al-Munir. ( Mekkah: Markaz Al-Bahts Al-‘Ilmi Jamiah Umm Al-Qura, t.th)

Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Majmu’ Al-Fatawa. (Mekkah: Maktabah An-Nahdlah Al-Hadits, 1404 H)

Ibrahim Hosen, et.al. Ijtihad Dalam Sorotan, , (Bandung: Mizan, Cet.IV 1996)

Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Alfaqihu Jahlahu, (Riyadh: Maktabah Al-Mamlakat Al-Arabiya, t.th)M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)

Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003)

Muhammad Khudari Bik, Usul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)

Muslim, Abu Husain, Hujjaj al-Qusyairy an-Naisabury. Shahih Muslim. (Kairo: Dar Ali Al-Kutub, 1996)

Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I )



[1] Al-Fayumi, Ahmad bin Ahmad. Al-Mishbah Al-Munir Fi Gharib Asy-Syarh Al-Kabir. (Beirut: Al-maktabah Al-Ilmiyah, t.th.) juz 1 hal 112.

[2] Moh. Rifai, Fiqh, (Semarang: CV. Wicaksana, 2003), hal. 124.

[3] M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 33.

[4] Al-Amidy, Ali bin Muhammad. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Kairo: Muassasah al-Halabi, 1967) juz 3, hal. 204.

[5] Muhammad Khudari Bik, Usul al-Fiqh. (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) hal. 367.

[6] Fazlur Rahman, Post Formative Developments in Islam. (Karachi: Islamic Studies,1962), hal. 12.

[7] Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Abu Mohannadl An-Najdi, 1427) hal. 464.

[8] Iyadl bin Nami As-Silmy, Ushul Fiqh Alladzi La Yasa’ Alfaqihu Jahlahu, (Riyadh: Maktabah Al-Mamlakat Al-Arabiya, t.th) hal. 440

[9] Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. hal. 468.

[10] Asy-Syintiqhi, Muhammad Al-Amin. Mudzakkirah Ushul Al-Fiqh. (Madinah: Al-Maktabah As-Salafiyah, 1393 H). hal 314-315.

[11] Al-Khatib Al-Baghdadi, Ahmad bin ali bin Tsabit. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400 H) Juz 1 hal 206.

[12] Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H) Juz 7 hal 407.

[13] Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halim. Majmu’ Al-Fatawa. (Mekkah: Maktabah An-Nahdlah Al-Hadits, 1404 H). Juz 3 hal 344.

[14] Ibid, Juz 20 hal 259.

[15] Ibid, Juz 12 hal 349-350.

[16] Ibn An-Najjar, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Aziz, Al-Futuhi. Syarah Al-Kaukab Al-Munir. ( Mekkah: Markaz Al-Bahts Al-‘Ilmi Jamiah Umm Al-Qura, t.th) juz 4 hal 584.

[17] Disarikan oleh Dr. H. Rachmat Syafe’i, MA., Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 1999, cet. I , hal

[18] Ibrahim Hosen, et.al. Ijtihad Dalam Sorotan, Cet.IV, (Bandung: Mizan, 1996), hal 28.

[19] surat Al-Baqarah: 150.

[20]Abu At-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq. Awn al-Ma’bad Syarh Sunan Abu Dawud. (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M), Cet.I, Juz.6, hal.272.

[21] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Shahih Bukhari. 13 hal. 318. Imam Muslim, Abu Husain, Hujjaj al-Qusyairy an-Naisabury. Shahih Muslim. (Kairo: Dar Ali Al-Kutub, 1996) Juz 5, hal.131.

[22] Surat An-Nahl: 44.

[23] Surat An-Nisa’: 105.

[24] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-Faqih Wa Al-Mutafaqqih. Juz 1 hal 199.

[25] Ibn Taimiyyah. Majmu’ Al-Fatawa. Juz 20 hal 203.

[26] Surat Al-Anbiya’: 78-79.

[27] Ibn Taimiyyah. Majmu’ Al-Fatawa. Juz 20 hal 224.

[28] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Shahih Bukhari. juz 13 hal. 318. Imam Muslim. Shahih Muslim. Juz 5, hal.131.

[29] Diriwayatkan oleh Imam Muslim. Shahih Muslim. Juz 12, hal.84.

[30] Surat Al-Anbiya’: 78-79.

[31] Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Shahih Bukhari. juz 6 hal. 165. Imam Muslim. Shahih Muslim. Juz 12, hal. 95.

[32] Al-Jizani, Muhammad bin Husain Bin Hasan, Ma’alim Ushul Al-Fiqh. hal. 480.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar