Jumat, 11 Februari 2011

IJMÂ’ DAN KEDUDUKANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

Pengertian ijmâ’

Pertama: secara etimology ijmâ’ berasal dari bahasa Arab yang berarti ketetapan hati dan kebulatan tekad[1] seperti dalam ayat فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ (surat yunus: 71) atau dalam hadits Rasulullah SAW: لا صيام لمن لم يجمع الصيام قبل الفجر artinya: ”tidak sah puasa ramadhan seseorang yang tidak berketetapan hati (niat) sebelum fajar”.[2] Atau dapat juga berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal.[3]

Kedua: secara terminology ijmâ’ adalah kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia dan tidak ada penjelasan nash dari al-Qur’ân dan al-sunnah.[4]

Dasar hukum ijmâ’

Dasar hukum ijmâ’ berupa al-Qur’ân, al-sunnah dan akal pikiran.

a. Al-Qur’ân

Allah SWT berfirman:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.[5]

Kata ulil amri yang terdapat pada ayat di atas mempunyai arti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid. Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. [6]

Firman AIlah SWT:

Artinya: "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai”. [7]

Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijmâ’ (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentual-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid. [8]

b. Al-sunnah

Sabda Rasulullah SAW: لا تجتمع أمتي على ضلالة

Artinya: "Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan". [9]

Apabila para mujtahid telah melakukan ijmâ’ dalam menentukan hukum syara' dari suatu permasalahan hukum, maka keputusan ijmâ’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta.

Dan sabda Rasulullah SAW yang lain: فمن أراد بحبوحة الجنة فيلزم الجماعة

Artinya : “Apabila seseorang menginginkan kemakmuran surga, hendaknya selalu berjamaah”. [10]

Dalam hadits ini Imam Syafi’i menyatakan: “Jika keberadaan para mujtahid tersebar diseluruh penjuru dunia, dan apabila tidak dimungkinkan bertemu langsung tetapi pendapatnya dapat sampai pada sejumlah mujtahid, maka dapat terjadi ijmâ’ dalam menetapkan sebuah hukum. Dan ketetapan para mujtahid ini dianggap sebagai ijmâ’, dan apabila ada yang mengingkarinya maka harus ditemukan bukti dan dalil baru untuk keputusan ijmâ’ tersebut”.[11]

c. Akal pikiran

Setiap ijmâ’ yang ditetapkan menjadi hukum syara', harus dilakukan dan disesuaikan dengan asal-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasal-dasar pokok ajaran Islam, batal-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu. Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyâs, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'ân dan al-sunnah, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan. [12]

Rukun-rukun ijmâ’

Dari definisi dan dasar hukum ijmâ’ di atas, maka ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun ijmâ’ sebagai berikut:

1. Adanya kesepakatan pendapat antara satu ulama dengan pendapat ulama lain.[13]

2. Para Mujtahid, yakni harus ada beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan kesepakatan (menetapkan hukum peristiwa itu. Seandainya tidak ada beberapa orang mujtahid di waktu terjadinya suatu peristiwa tentulah tidak akan terjadi ijmâ’, karena ijmâ’ itu harus dilakukan oleh beberapa orang.[14] Syarat sebagai mujtahid adalah mengetahui ilmu al-Qur’ân, al-sunnah dan permasalahan ijmâ’, mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu ushul fiqih, menguasai ilmu bahasa arab.

3. Yang melakukan kesepakatan itu hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam. Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum dapat dikatakan suatu ijmâ’.

4. Kesepakatan itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa yang terjadi pada masa itu. Jangan sekali-kali tersirat dalam kesepakatan itu unsur-unsur paksaan, atau para mujtahid yang diharapkan kepada suatu keadaan, sehingga ia harus menerima suatu keputusan. Kesepakatan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti dengan pernyataan lisan, dengan perbuatan atau dengan suatu sikap yang menyatakan bahwa ia setuju atas suatu keputusan hukum yang telah disetujui oleh para mujtahid yang lain. Tentu saja keputusan yang terbaik ialah keputusan sebagai hasil suatu musyawarah yang dilakukan para mujtahid.

5. Kesepakatan itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Seandainya terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijmâ’. Ijmâ’ yang demikian belum dapat dijadikan sebagai hujjah syari'ah. [15]

Macam-macam ijmâ’

Sekalipun sukar membuktikan apakah ijmâ’ benal-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijmâ’. Diterangkan bahwa ijmâ’ itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.

Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijmâ’ terdiri atas:

1. ljma' sharîh, qouli, bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan, seperti hukum masalah ini halal dan tidak haram. [16]

2. Ijmâ’ sukûti, iqrâri yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. [17]

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan ijma sukûti ini: ada yang menyatakan sebagai dalil qath’î dan ada yang berpendapat sebagai dalil zhannî.

Sebab-sebab terjadinya perbedaan adalah: keadaan diamnya sebagian mujtahid tersebut mengandung kemungkinan adanya persetujuan atau tidak. Apabila kemungkinan adanya persetujuan: maka hal ini adalah dalil qath’î, dan apabila ada yang tidak menyetujui: maka hal itu bukanlah sebuah dalil, dan apabila ada kemungkinan memberi persetujuan tetapi dia tidak menyatakan: maka hal ini adalah dalil zhannî.

Oleh karena itu, ijmâ’ sukûti tidak dapat dimutlakkan keberadaan hukumnya, tetapi harus mempertimbangkan adanya bukti dan kondisi para mujtahid yang diam tadi. Sehingga apabila kesepakatan itu diduga kemungkinan besar menyetujuinya dan memuaskan semua mujtahid, hal ini dianggap sebagai dalil zhannî. Akan tetapi apabila ternyata para mujtahid menyetujui maka dianggap sebagai dalil qath’î. Dan apabila muncul pelanggaran dan ketidakpuasan maka tidak dianggap sebagai dalil.[18]

Dalam hal ini ada perbedaan diantara ulama madzhab: ulama malikiyah dan syafi’iyyah menyatakan ijmâ’ sukûti bukan sebagai ijmâ’ dan dalil. Sedangkan menurut ulama hanafiyah dan hanabilah menyatakan bahwa ijmâ’ ini dapat dinyatakan sebagai ijmâ’ dan dalil qath’î. [19]

Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijmâ’, dapat dibagi kepada:

1. ljma' qath'î, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu adalah sebagai dalil qath'î diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijmâ’ yang dilakukan pada waktu yang lain;

2. ljma' zhannî, yaitu hukum yang dihasilkan ijmâ’ itu zhannî, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijmâ’ yang dilakukan pada waktu yang lain. [20]

Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijmâ’ yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijmâ’-ijmâ’ itu ialah:

1. Ijmâ’ sahabat, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;

2. Ijmâ’ khulafaurrasyidin, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijmâ’ tersebut tidak dapat dilakukan lagi;

3. Ijmâ’ shaikhan, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;

4. Ijmâ’ ahli Madinah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijmâ’ ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;

5. Ijmâ’ ulama Kufah, yaitu ijmâ’ yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijmâ’ ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.[21]

Persyaratan bagi ahli ijmâ’

Dalam menentukan hukum ijmâ’ ini, para mujtahid yang ingin bersepakat dalam sebuah hukum harus memenuhi persyaratan berikut ini:

1. Mempunyai kapasitas intelektual sebagai mujtahid. [22] Sehingga apabila ada sekelompok orang awam yang tidak mempunyai kompetensi keilmuan, kemudian bersepakat atas keputusan hukum, hal ini tidak dinamakan sebagai ijmâ’. Sebaliknya jika ada permasalahan hukum maka para ahli ijmâ’ tersebut harus mempunyai kompetensi keilmuan dalam bidang fiqih ketika mau membuat kesepakatan bersama (ijmâ’).[23]

Apabila ada yang menyatakan bahwa sekelompok orang awam yang bersepakat dianggap sebagai ijmâ’? hal ini harus mempunyai syarat bahwa mereka harus mengikuti pendapat dan metodologi istinbath para mujtahid. [24]

2. Kesepakatan bersama harus ditetapkan oleh pemikir muslim. Sehingga tidak dinamakan ijmâ’ apabila ada ketetapan yang didalamnya terdapat pemikir non muslim dan murtad. Karena orang non muslim tidak masuk dalam kategori orang mukmin. Seperti dalam firman Allah SWT: Artinya: ”Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin”. [25]

Sedangkan orang fasiq yang sering berbuat dosa, maka apabila pendapatnya menunjuk kepada adanya kebenaran dan kemashlahatan maka masih dapat di masukkan kedalam kelompok pemikir muslim. Karena orang fasiq secara umum masih masuk dalam kategori sebagai orang mukmin.[26]

3. Ijmâ’ yang ditetapkan harus mengikut sertakan seluruh mujtahid. Maksudnya adalah tidak ditentukan jumlah banyaknya, tetapi ditentukan ada yang menolak keputusan bersama itu atau tidak? Apabila ada satu atau dua orang yang mengingkari ketetapan hukum yang dibuat bersama, maka hal ini tidak dapat dianggap sebagai ijmâ’. [27]

Obyek ijmâ’

Obyek ijmâ’ ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits, peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdhah (ibadat yanng tidak langsung ditujukan kepada Allah SWT) bidang mu'amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam al-Qur'an dan al-Hadits.

Penutup

Oleh karena itu, wajib bagi siapapun yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan untuk mengetahui Ijmâ’ (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama, sehingga ia dapat berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benal-benar selamat dari penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syariat serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui Ijmâ’ tersebut.

Para imam (ulama besar) umat ini telah sepakat memvonis sesat orang yang menyelisihi konsensus umat ini dalam satu permasalahan agama. Bahkan bisa menjadi landasan untuk memberi vonis kafir dan murtad dalam beberapa keadaan tertentu. Karena itulah, para ulama juga telah memperhatikan hal ini secara sempurna, dan kita semua kembali merujuk kepada keterangan mereka tentang Ijmâ’ yang benar.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Terjemahannya, Surabaya: PT Mahkota, 2004 M.

Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976.

Abdulwahâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh Kairo: Dâr al-Hadits, 2003.

Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984.

Haitsami, Ali bin Abu Bakar al-, Mujma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid Beirut: Dâr al-Fikr, 1992.

Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukâb al-Munîr Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.

Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukarrim, Lisân al-‘Arab Beirut: Dâr Shadr, tt.

Ibn Qudâmah, Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudlat al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399.

Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatâwa Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404.

Jurjâni, Ali bin Muhammad bin Ali al-, Al-Ta’rifât Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1405.

Khatîb al-Baghdâdi, Ahmad bin Ali bin Tsâbit al-, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1400.

Nasâi, Ahmad bin Syu’aib abu Abdurrahman al-,:

Sunan al-Nasâi Halb: Maktaba al-Mathbû’ât al-Islâmiyah, 1986

Sunan al-Nasâi al-Kubra Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991

Qurthûbi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.

Syafi’i, Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-, Al-Risâlah Beirut: Maktabah Ilmiyah, tt.

Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh Beirut: Dâr al-Fikr, 1999



[1] Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjâni, Al-Ta’rifât (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1405), hlm., 2.

[2] Ahmad bin Syu’aib abu Abdurrahman al-Nasâi, Sunan al-Nasâi (Halb: Maktaba al-Mathbû’ât al-Islâmiyah, 1986), Juz IV, hlm., 197.

[3] Muhammad bin Mukarrim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz XIII, hlm., 53.

[4] Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984), Juz I, hlm., 101.

[5] Surat al-Nisâ': 59.

[6] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthûbi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.), Juz V, hlm., 259.

[7] Surat Ali Imran: 103.

[8] Al-Qurthûbi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz IV, hlm., 159.

[9] Ali bin Abu Bakar al-Haitsami, Mujma’ al-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), Juz VII, hlm., 147.

[10] Ahmad bin Syu’aib abu Abdurrahman al-Nasâi, Sunan al-Nasâi al-Kubra (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1991), Juz V, hlm., 387.

[11] Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Maktabah Ilmiyah, tt.), hlm., 475.

[12] Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh (Baghdad: Muassasah Qurthûba, 1976), hlm., 183.

[13] Al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz I, hlm., 137.

[14] Abdulkarîm Zaidân, Al-Wajîz fi Ushul Fiqh, hlm., 180.

[15] Abdulwahâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Hadits, 2003), hlm., 51.

[16] Ahmad bin Ali bin Tsâbit al-Khatîb al-Baghdâdi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1400), Juz XI, hlm., 170.

[17] Ibid.

[18] Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz XIX, hlm., 267-268.

[19] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm., 51.

[20] Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz XIX, hlm., 267-270.

[21] Ibid, Juz XI, hlm., 341.

[22] Syaral-syarat Mujtahid

Seseorang layak melakukan ijtihad bila telah memenuhi syaral-syarat berikut ini.

Pertama, memahami dalil-dalil sam’iyyah yang digunakan untuk membangun kaedah-kaedah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam’iyyah adalah al-Quran, Sunnah, dan Ijmâ’. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, Sunnah, dan Ijmâ’, klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta mentarjih dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dalil-dalil sam’iyyah dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.

Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu lafadz (makna yang ditunjukkan lafadz) yang sejalan dengan lisannya orang Arab dan para ahli balaghah. Syarat kedua ini mengharuskan seseorang yang hendak berijtihad memiliki kemampuan dalam memahami seluk beluk bahasa Arab, atau kemampuan untuk memahami arah makna yang ditunjukkan oleh suatu lafadz. Oleh karena itu, seorang mujtahid atau mufti harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu lafadz, makna balaghahnya, dalalahnya, serta pertentangan makna yang dikandung suatu lafadz serta mana makna yang lebih kuat –setelah dikomparasikan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghafal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, penetapan fatwa harus didasarkan pada prinsip-prinsip ijtihad, yakni ”fahm al-nash” (memahami nash) dan fahm al-waaqi’ al-haaditsah” (memahami realitas yang terjadi). Fahmu al-nash adalah upaya memahami dalil-dalil syariat hingga diketahui dilalah al-hukm (penunjukkan hukum) yang terkandung di dalam dalil tersebut. Sedangkan fahmu al-waaqi’ al-haaditsah adalah upaya mengkaji dan meneliti realitas yang hendak dihukumi agar substansi persoalannya bisa diketahui, serta hukum syariat yang paling sesuai dengan realitas tersebut.

Lihat: al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz II, hlm., 216.

[23] Abdullah bin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasi, Raudlat al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 350-351.

[24] al-Khatîb al-Baghdâdi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, Juz I, hlm., 168.

[25] Surat al-Nisâ’: 115.

[26] Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr (Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.), juz II, hlm., 227-229.

[27] Al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Juz I, hlm., 235.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar