Jumat, 11 Februari 2011

ILMU USHUL FIQIH DALAM LINTASAN SEJARAH

Masa Pertama: Masa Rasulullah SAW

Ilmu ushul fiqh dipandang dari sisi waktu penyusunan dan penulisannya mulai muncul pada akhir abad kedua hijriyah, hal ini dapat dilihat dari kemunculan buku ”Ar-Risalah” karya Imam Abu Abdullah, Muhammad Bin Idris Asy-Syafi’i. Sedangkan apabila dipandang dari sisi kaidah-kaidah dan istinbath hukumnya secara umum ushul fiqh mulai muncul bersamaan dengan adanya ilmu fiqh. Karena keberadaan kaidah-kaidah maupun batasan-batasan penetapan fiqh ini harus ada bersamaan dengan ilmu ushul fiqh.[1]

Hukum-hukum yang ada pada masa Rasulullah SAW diambil dari wahyu Allah melalui Al-Qur’an, beserta penjelasan-penjelasannya yang ada dalam As-Sunnah. Pada masa Rasulullah SAW ada sebuah isyarat yang menunjukkan adanya pemikiran ijtihadi seperti pada kasus yang terjadi pada sahabat Muadz Bin Jabal ketika diutus oleh Rasulullah SAW menjadi hakim di yaman.

حديث معاذ بن جبل، لما أرسله رسول الله e إلى اليمن فقال له: (بم تقضي يا معاذ قال: بكتاب الله. قال: فإن لم تجد قال: بسنة رسول الله. قال: فإن لم تجد قال: أجتهد رأيي ولا آلو، فضرب رسول الله e على صدره وقال الحمد لله الذي وفق رسولَ رسولِ الله لما يرضى الله ورسوله

Rasulullah SAW. bertanya: “Apa yang engkau lakukan apabila diajukan kepadamu sesuatu perkara ? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku akan menetapkan hukum dengan kitab Allah”. Kemudian beliau bertanya lagi: “Apabila kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku menetapkannya dengan Sunnah Rasulullah”. “Dan apabila tidak ada pula dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz bin Jabal menjawab: “Aku berijtihad dengan sungguh-sungguh”. Kemudian itu Mu’adz bin Jabal bercerita: kemudian Rasulullah SAW menepuk dadaku dengan seraya berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah, terhadap jalan yang disukai oleh Rasulullah”.[2]

Pada masa Rasulullah SAW juga ada beberapa sahabat besar yang mampu untuk memberikan fatwa terhadap masalah yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.[3]

Masa Kedua: Masa Sahabat

Dalam hal ini, sudah dapat diketahui bahwa pada masa ini sebagian sahabat Rasulullah SAW telah memberikan keputusan baik melalui fatwa maupun hasil ijtihadnya ketika berhadapan dengan kasus-kasus hukum baru, seperti yang pernah dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khattab ra, Abdullah Bin Mas’ud ra, Ali Bin Abi Thalib ra dan yang lainnya. Para sahabat tersebut memberikan fatwanya dengan tidak mengikutkan diri pada hawa nafsunya tetapi melalui akal sehat dan menggunakan cara berpikir yang baik dan benar dan tidak diragukan lagi bahwa para sahabat sangat menguasai ilmu bahasa arab, menguasai ilmu asbabun nuzul, asbabul wurud, mengetahui ilmu naskh mansukh, mujmal mubayyan, muthlaq muqayyad, am khas dan sebagainya. Para sahabat juga mampu untuk menguasai rahasia-rahasia, hikmah-hikmah dan juga maqashid syariah, hal itu dikarenakan para sahabat selalu berdekatan dengan Rasulullah yang selalu membimbingnya.

Proses pemikiran ushuliyah pada masa ini adalah apabila mendapatkan permasalahan selalu disandarkan pada nash Al-Qur’an dan ketika tidak menemukannya mereka menyandarkan permasalahan tersebut pada nash As-Sunnah, tetapi apabila tidak terdapat nash dalam As-Sunnah maka para sahabat berupaya untuk melakukan ijtihad, dari hasil ijtihad tersebut mereka memberikan fatwa hukum. Dan ketika ada kesepakatan diantara para sahabat dalam memberikan fatwa maka dapat disebut sebagai ijma’. Dengan demikian dari masa sahabat ini muncul istilah ijma’, sehingga sumber hukum Islam pada masa sahabat berupa Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma dan qiyas. Disini akan diberikan contoh seperti yang dilakukan oleh sahabat Umar Bin Khattab ra. ketika menulis surat kepada sahabat Abu Musa Al-Asy’ari ra: ”Pemahaman yang aku berikan sudah jelas adanya seperti yang telah aku tunjukkan kepadamu, bahwa apabila ada hukum yang tidak ditemukan nashnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka berusahalah untuk menggunakan metode qiyas dan berilah contoh yang benar, dengan demikian berpedomanlah pada apa yang kamu ketahui sehingga mendapatkan ridlo Allah dan kamu akan mendapatkan kebenaran...”.[4]

Contoh yang lain adalah ketika sahabat Ali Bin Abi Thalib ra. menjatuhkan hukuman 80 (delapan puluh) kali cambukan bagi peminum minuman keras, karena menganalogikan hukuman bagi penuduh zina: “Saya berpendapat bahwa meminum minuman keras akan memabukkan, orang yang mabuk akan berbicara tidak jelas (tidak menggunakan akal sehatnya), orang yang berbicara tidak jelas dianggap sebagai orang-orang yang membuat-buat kebohongan, dengan demikian saya berpendapat bahwa hukuman 80 (delapan puluh) kali cambukan bagi peminum minuman keras adalah benar karena menganalogikan hukuman bagi penuduh zina”.[5]

Sahabat Abdullah Bin Mas’ud ra berpendapat masa iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya sama dengan masa iddah wanita hamil. [6] Dalil:

Artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”.[7]

Surat thalaq ini turun kepada Rasulullah SAW setelah turunnya surat al-baqarah:

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”.[8] Pendapat dari sahabat ibn mas’ud tersebut sebagai isyarat adanya salah satu kaidah ushuliyyah: “النص اللاحق ينسخ النص السابق وإن لم يصرح بذلك” artinya: dalil nash yang datang kemudian menghapus dalil nash yang terdahulu, meskipun belum ada keterangan yang menunjukkannya”.[9]

Masa Ketiga: Masa Tabi’in

Pada masa tabi’in, daerah kekuasan Islam mulai menyebar ke segala penjuru dunia, ini menjadikan pemeluk agama Islam terdiri dari bangsa arab dan bukan arab. Dan ketika pemeluk agama Islam terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda maka banyak sekali permasalahan-permasalahan hukum baru yang bermunculan, sehingga apabila tidak ada kejelasan hukum dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka akan muncul ketidak pastian hukum dan hal ini mengharuskan adanya proses ijtihad. Sumber hukum pada masa tabi’in ini berupa Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan qiyas, ditambah dengan adanya fatwa dan pendapat sahabat, dan dengan demikian maka pada masa ini metode-metode penemuan hukum mengalami pertumbuhan yang luar biasa.

Tetapi apabila kita melihat dengan jelas, pada masa ini ada beberapa tabi’in yang berpegang teguh pada dhahir nya nash, dan sangat jarang menggunakan qiyas sebagai metode penemuan hukum, mereka disebut Ahli Hadits (berada di daerah Hijaz) mereka dipimpin oleh sahabat Abdullah Bin Umar ra (beliau sangat jarang sekali menggunakan qiyas kecuali apabila ada kepentingan yang mendesak), ada juga tabi’in Said Bin Al-Musayyab ra (beliau yang mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah SAW, fatwa sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman ra.

Adapun penyebab ahli hadits berpedoman pada dhahir nya nash adalah:

  1. Terpengaruh kepada sahabat Abdullah Bin Umar ra dalam menggunakan metode penemuan hukum.
  2. Mereka mempunyai banyak hadits Rasulullah SAW, pendapat sahabat, dan mereka berada ditempat turunnya wahyu Allah.
  3. Permasalahan hukum yang mereka hadapi masih sangat sedikit, disebabkan budaya hidup mereka yang sederhana.[10]

Sebaliknya, ada beberapa tabi’in yang hidup di Irak yang lebih banyak menggunakan akal sehatnya dalam menemukan hukum baru, mereka disebut sebagai Ahli Ra’yu, mereka juga menyandarkan hukum pada kemashlahatan, berusaha mencari ‘illat [11] hukum dan melaksanakan hukum tersebut. Meskipun demikian, mereka selalu mengembalikan kepada As-Sunnah apabila keputusan hukum mereka bertentangan dengan batasan-batasan kaidah hukum, atau apabila akal sehat mereka bertentangan dengan As-Sunnah. Mereka menggunakan metode tersebut salah satunya adalah tempat tinggal yang jauh dari tanah tempat turunnya wahyu. Ahli Ra’yu ini dipimpin oleh sahabat Abdullah bin mas’ud ra dan tabiin ‘Alqamah An-Nakha’i, ibrahim An-Nakha’i.

Adapun penyebab Ahli Ra’yu berpedoman pada akal sehatnya adalah:

  1. Terpengaruh kepada sahabat Abdullah bin mas’ud ra dan tabiin ‘Alqamah An-Nakha’i, ibrahim An-Nakha’i dalam metode penemuan hukum.
  2. Irak merupakan daerah yang banyak dihuni oleh sahabat, seperti Abdullah bin mas’ud, saad bin abi waqash, abu musa al-asy’ari, anas bin malik, dimana mereka cukup puas dengan hadits yang ada dan tidak berusaha untuk mencari hadits dari sahabat lain.
  3. Munculnya banyak permasalahan hukum yang baru, banyak penemuan-penemuan berbagai bidang ilmu.[12]

Masa Keempat: Masa Imam Mujtahid

Pada masa ini adalah masa munculnya methodologi istinbath hukum, kaidah-kaidah menemukan hukum dari permasalahan hukum cabang fiqih. Imam Abu Hanifah ra memberi batasan methodologi istinbath hukum secara jelas: “Dalam memberi keputusan hukum saya berpedoman pada Al-Qur’an, apabila tidak ditemukan maka berpedoman pada As-Sunnah, apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka berpedoman pada pendapat sahabat, apabila tidak ditemukan pendapat sahabat (seperti ibrahim An-Nakha’i, asy-sya’bi, ibn syirin, said bin al-musayyab) maka saya akan berusaha untuk berijtihad seperti metode ijtihad mereka”. [13]

Imam Malik Bin Anas ra juga mempunyai methodologi istinbath hukum: “Sumber hukum yang dipakai adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, qiyas, ‘amal ahli madinah, qaul sahabi, istihsan, sad dzarai’, mashlahah mursalah dan sebagainya.[14]

Dengan demikian dapat diketahui bahwa para imam mujtahid mempunyai methodologi istinbath hukum yang berbeda-beda, dan keputusan hukum yang dihasilkan juga berbeda, tetapi pada intinya adalah sama yakni menghantarkan pada keputusan hukum yang benar dan sesuai dengan maksud Allah SWT. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa pada waktu itu muncul sikap fanatik dari madzhab yang ada, perbedaan pendapat, mendukung salah satu imam madzhab. Kemudian imam Syafi’i ra datang membawa methodologi istinbath dan kaidah hukum yang dapat menghimpun semua methode yang ada.

Masa Kelima: Masa Imam Syafi’i

Sudah disepakati oleh para ulama bahwa imam Syafi’i adalah ulama pertama yang menyusun ilmu ushul fiqh dalam bukunya ”ar-risalah”. Beliau menulis buku ini untuk pada awalnya di tujukan kepada imam Abdurrahman Bin Mahdi yang merupakan salah satu imam ahli hadits di Hijaz setelah sebelumnya imam Abdurrahman mengirimi tulisan kepada imam Syafi’i yang berisi makna-makna Al-Qur’an, syarat-syarat diterima hadits sebagai sumber hukum, kehujjahan ijma’, penjelasan naskh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Dalam buku ar-risalah ini Imam syafi’i menjelaskan methodologi yang harus ditempuh oleh mujtahid dalam menemukan hukum, menghimpun methode ahli hadits dan ahli ra’yi, penjelasan naskh mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, lafadz am khas, muthlaq muqayyad, mujmal mubayyan, am yang dimaksud oleh dhahirnya lafadz, am yang dimaksud oleh bukan dhahirnya lafadz, kehujjahan hadits ahad, penjelasan kedudukan As-Sunnah, penjelasan tentang qiyas, ijma’, ijtihad, persyaratan menjadi mufti dan pembahasan lainnya.

Selain itu imam Syafi’i juga menulis buku yang isinya penjelasan metode istinbath hukum ketika terjadi perbedaan pendapat seperti: kitab ibthal al-istihsan¸ buku ini ditulis untuk menolak penggunaan istihsan dalam istinbath hukum. Kitab ikhtilaf al-hadits, buku ini ditulis dalam rangka kompromi terhadap nash yang saling bertentangan. Kitab jama’ al-ilmi, buku ini ditulis untuk menetapkan kehujjahan khabar ahad dan kewajiban dalam mengaplikasikannya, dan buku ini ditujukan untuk menjawab pendapat orang yang menolak keberadaan hadits ahad, sehingga beliau mendapat julukan ahli makkah, pejuang sunnah berkat pendapatnya yang mendukung keberadaan hadits ahad yang pada saat itu masih diremehkan keberadaannya dan tidak diaplikasikan dalam kehidupan.

Ada beberapa ulama yang menggunakan methodologi yang disusun oleh imam Syafi’i tetapi kemudian mereka berbeda methodologi sewaktu mengaplikasikannya, hal ini dikarenakan:

1. Beberapa ulama ada yang berpedoman pada methodologi yang disusun oleh imam Syafi’i secara total dalam istinbath hukum.

2. beberapa ulama yang lain berpedoman pada sebagian methodologi imam Syafi’i dan mencampurkan methodologi dari imam lain. Seperti madzhab hanafiah: mereka berpedoman pada methodologi imam syafi’i dan menambahkan istihsan, ’urf. Madzhab malikiyah juga berpedoman pada methodologi imam Syafi’i dan menambahkan ijma’ ahli madinah, istihsan, mashlahah mursalah, sad dzarai’.[15]

Masa Imam Syafi’i Aliran – Aliran Dalam Ilmu Ushul Fiqh

Setelah pembahasan tentang buku Ar-Risalah, disini dapat disimpulkan bahwa para ulama dalam merumuskan methodologi istinbath hukum menempuh tiga metode, yaitu metode Mutakallimin, Metode Fuqaha’, dan Konvergensi antara keduanya.

1. Metode Mutakallimin[16]

Para ulama dalam aliran ini ketika melakukan istinbath hukum menggunakan metode dalam ilmu kalam seperti: menetapkan kaidah-kaidah dan masalah ushul fiqh yang dibangun dengan alasan-alasan yang kuat baik naqli atau aqli tanpa terikat dengan hukum furu’ yang telah ada pada mazhab apapun. Ulama aliran ini mendasarkan diri pada logika, menghilangkan fanatisme bermadzhab, mempersedikit pembahasan pada masalah hukum furu’ dan apabila membahas masalah hukum furu’, hal itu dianggap sebagai contoh-contoh pelebaran pembahasan saja.

Dan tujuan penulisan kitab-kitab aliran ini adalah agar menjadi acuan standar dalam istinbath, bukan untuk membela fiqh imamnya. Di antara ulama yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ulama Mu’tazilah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah.

Di antara kitab-kitab Ilmu Ushul Fiqh dalam aliran ini, yaitu :

1. Kitab Al-Mu’tamad disusun oleh Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy (wafat pada tahun 463 Hijriyah),

2. Kitab Al-Burhan disusun oleh Abdul Ma’aliy Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy an-Naisaburiy asy-Syafi’iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain ( wafat pada tahun 487 Hijriyah),

3. Kitab AI Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi’iy ( wafat pada tahun 505 Hijriyah).

Dalam perkembangannya masih banyak karya para ulama yang mengikuti metode ini.

2. Metode Fuqaha’

Para ulama dalam aliran ini ketika melakukan istinbath hukum menggunakan metode yang berbeda dari aliran mutakallimin, hal ini dikarenakan mereka memulai pembahasan dari menetapkan kaidah-kaidah ushul fiqh terhadap hukum-hukum furu’ yang diperoleh melalui imam-imam mazhab mereka dimana para ulama telah meletakkan dasar kaidah yang nantinya akan digunakan dalam beristinbath hukum atas hukum furu’. Ada beberapa ulama bahkan terkadang terlalu berlebihan dalam membela imam mereka. Dan apabila mereka menemukan pertentangan kaidah dalam masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh madzhabnya, maka mereka berpedoman pada kesepakatan dan hukum furu’ yang telah ada sebelumnya. Aliran ini disebut juga aliran hanafiyah.

Untuk memperjelas perbedaan metode yang digunakan oleh kedua aliran diatas, berikut adalah penjelasan singkatnya:

1. Aliran mutakallimin menetapkan kaidah-kaidah ushul fiqh berdasarkan pada dalil hukum Islam. Sedangkan aliran fiqaha’ mendasarkan diri pada hukum furu’ yang diperoleh dari imam madzhab.

2. Aliran fuqaha’ apabila mereka menemukan pertentangan kaidah dalam masalah furu’ yang telah ditetapkan oleh madzhabnya, maka mereka berpedoman pada kesepakatan dan hukum furu’ yang telah ada sebelumnya. [17]

Contoh:

Penjelasan tentang syarat wajib shalat adalah sebab masuknya waktu.

Ulama bersepakat tentang masuknya waktu shalat sebagai syarat wajib, dan melakukan shalat sebelum dan sesudah masuknya waktu shalat dianggap tidak sah shalatnya. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal bagian waktu yang dijadikan sebagai syarat wajibnya sahalat.

Aliran mutakallimin berpendapat: sebab masuknya waktu shalat adalah pada bagian awal waktu, ketika sudah masuk waktunya shalat maka setiap orang Islam harus segera melaksanakannya dalam waktu yang sudah ditentukan batasannya. Meskipun demikian setiap orang bebas menentukan waktunya selama masih dalam batasan waktu shalat. [18] Dalilnya adalah:

Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam”.[19]

Lafadz dalam ayat ini menerangkan adanya waktu-waktu shalat, yakni: tergelincir matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk waktu Magrib dan Isya. Sedangkan shalat subuh waktunya adalah [20] yakni pada waktu terbitnya fajar.

Dengan demikian Allah SWT menjadikan tergelincirnya matahari dan gelapnya malam beserta terbitnya fajar sebagai sebab dan syarat wajib shalat dan setiap orang Islam wajib melaksanakannya ketika waktu tersebut datang sampai habisnya waktu. Dan apabila ada kepentingan yang menghalanginya (seperti lupa, tertidur dan sebagainya) shalat pada waktunya maka dia wajib melakukan qhada’. Apabila tidak ada kepentingan (seperti dia menganggap remeh shalat) hal ini menjadikannya tidak wajib melakukan shalat.

Aliran hanafiah berpendapat: sebab masuknya waktu shalat adalah bagian dari pelaksanaan, apabila melaksanakan shalat masih dalam batasan waktu shalat hal ini merupakan sebab dan syarat wajib shalat. Apabila belum bisa melaksanakan shalat sampai waktunya tersisa sedikit hal ini merupakan bagian dari waktu shalat. Apabila sudah melampaui batas waktunya dan belum mengerjakan shalat, maka hal ini menjadi sebab bagi orang tesebut untuk melaksanakan shalat. [21] Dalilnya adalah: mereka menggunakan hukum furu’ yang telah ditetapkan oleh imam madzhabnya dan tidak berpedoman pada Al-Qur’an dan As-Sunnah:

1. Seseorang wajib melaksanakan shalat pada waktunya, apabila ada halangan yang menghalangi dia shalat sampai keluar waktunya, maka dia tidak wajib melakukan shalat pada waktu itu.

2. Mereka memahami hukum furu’ bahwa bagian awal waktu shalat bukan merupakan sebab dan syarat wajib shalat. Hal ini disebabkan apabila menjadi sebab maka termasuk ketetapan wajib dalam tanggungan orang tersebut apa adanya, dan dia tidak terbebaskan dari tanggungan setelah ada kepentingan kecuali harus melaksanakan kewajiban atau mengqhadla’nya.

3. Mereka berpendapat bahwa seseorang apabila melaksanakan shalat di awal waktunya maka shalatnya sah. Dengan demikian bahwa bagian akhir dari waktu shalat bukan sebab dan syarat sahnya, karena apabila menjadi sebab maka shalat pada awal waktunya menjadi tidak sah, karena dianggap melaksanakan shalat sebelum adanya waktu sebagai sebab dan syarat sah shalat.

Dengan demikian ulama hanafiyah menyatakan: sebab dan syarat wajib shalat adalah bagian awal waktunya, apabila tidak bias melaksanakan maka berpindah sebabnya pada bagian waktu berikutnya, dan hal ini berlangsung sampai sisa waktu shalat yang merupakan bagian dari waktu shalat wajib yang dijelaskan oleh bagian waktu yang menjadi sebab. Apabila telah keluar dari waktu shalat dan seorang muslim belum melaksanakan shalat hal ini disandarkan pada sebab waktu seluruhnya. [22]

Kitab kitab aliran mereka:

1. Al-Jashshash disusun oleh Abu Bakar Ahmad bin Ali (wafat tahun 380 H),

2. Al-Manar kitab yang disusun oleh Hafidhuddin ‘Abdullah bin Ahmad An- Nasafiy (wafat pada tahun 790 H), dan syarahnya yang terbaik yaitu Misykatul Anwar.

3. Konvergensi

Metode yang menggabungkan dan mengkombinasikan antara kedua pendekatan. Metode ini juga sering disebut dengan tariqah al-jam’an. Ciri ulama mazhab ini adalah dengan sikapnya yang rasional dan juga kadang tradisional.

Diantara ulama-ulama yang mempunyai ide ini adalah sebagai berikut: Mudhafaruddin Ahmad bin ‘Aliy As Sya’atiy Al Baghdadiy (wafat pada tahun 694 Hijriyah) dengan menulis kitab Badi’un Nidham yang merupakan paduan kitab yang disusun oleh Al Bazdawiy dengan kitab Al Ihkam fi Ushulil Ahkam yang ditulis oleh Al Amidiy.

Dalam kaitan dengan pembahasan Ilmu Ushul Fiqh ini, perlu dikemukakan bahwa Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Asy-Syatibiy ( wafat pada tahun 760 Hijriyah) telah menyusun sebuah kitab Ilmu Ushul Fiqh, yang diberi nama A1 Muwafaqat. Dalam kitab tersebut selain dibahas kaidah-kaidah juga dibahas tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Kitab Ushul Fiqh oleh Syaikh Muhammad A1 Khudlariy Bak (wafat pada tahun 1345 Hijriyah/ 1927 Masehi). Pada modern ini ilmu Ushul Fiqh mencapai perkembangan yang gemilang, walaupun demikian masih banyak kritikan oleh para ulama kontemporer yang ingin mengembangkan ilmu ini dan ataupun sengaja ingin mengkritisi karya literatur maupun buah pemikiran para ulama salaf. [23]

Penutup

Demikian sejarah ilmu ushul fiqh dari lintasan sejarah yang telah berlangsung sejak zaman Rasulullah SAW sampai dengan zaman sekarang. Sejarah ini berguna untuk memberikan motivasi, inspirasi dan improvisasi kepada kita semua sebagai penerus ilmu ushul fiqh. Pemikiran yang baik harus didukung oleh pelaksanaan yang baik dari pemikiran tersebut. Sejarah tidak akan berhenti untuk melahirkan pemikir-pemikir ilmu ushul fiqh selama mau berusaha dengan rajin dan istiqamah. Semoga bermanfaat.

Daftar pustaka

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. (Surabaya: PT Mahkota, 2004 M)

Abu At-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq.’Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud. (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M, Cet.I)

Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah. (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th)

Ahmad Mahmud Asy-Syafi’i. Ushul Fiqh Al-Islami. (Beirut: Mansyurat Al-Halabi, 2002)

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H)

Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th)

As-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad Abu Bakar. Usul As-Sarkhasi. (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1393 H)

Abdulkarîm Zaidân. Al-wajiz fi ushul fiqh. (Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976 M)

Ibn Hajar Al-’Asqalani, Ahmad Bin Ali, Abu Al-Fadlil. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari. (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1379 H)

Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad Bin Abi Bakar, Abu Abdullah. I’lam Al-Muwaqi’in. (Beirut: Maktabah Al-’Ashriyyah, 1470 H)

Khudlori Bik, Muhammad. Tarikh Tasyri’. (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyah, 2008)

Muslim, Abu Husain, Hujjaj al-Qusyairy an-Naisabury. Shahih Muslim. (Kairo: Dar Ali Al-Kutub, 1996)

Praja, Juhaya S, Filsafat Hukum Islam. (Bandung: Pusat penerbitan Universitas, 1995)

Sya’ban Ismail. Ushul Fiqh Tarikhuhu wa Rijaluhu. (Riyadl: Dar Al-Marikh, 1401 H)



[1] Khudlori Bik, Muhammad. Tarikh Tasyri’. (Lebanon: Dar Al-Kutub Al-’Ilmiyah, 2008) hal. 114.

[2] Abu At-Thayyib Muhammad Syams al-Haqq.’Awn al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud. (Beirut: Dar al-Fikr, 1399 H/1979 M), Cet.I, Juz.6, hal.272.

[3] Abdulkarîm zaidân. Al-wajiz fi ushul fiqh (Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976 M) hal. 14.

[4] Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, Muhammad Bin Abi Bakar, Abu Abdullah. I’lam Al-Muwaqi’in. (Beirut: Maktabah Al-’Ashriyyah, 1470 H) Juz 1 hal. 85.

[5] Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H) Juz 8 hal 185. Imam Muslim, Abu Husain, Hujjaj al-Qusyairy an-Naisabury. Shahih Muslim. (Kairo: Dar Ali Al-Kutub, 1996) Juz 2, hal.56.

[6] Ibn Hajar Al-’Asqalani, Ahmad Bin Ali, Abu Al-Fadlil. Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari. (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1379 H) Juz 8 hal 655.

[7] surat At-Thalaq: 4.

[8] surat Al-Baqarah: 234.

[9] Al-Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad, Abu Abdullah. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. (Beirut: Dar Ihya’ At-Turats, t.th) Juz 3 hal 174.

[10] Khudlori Bik, Muhammad. Tarikh Tasyri’. hal. 132.

[11] ‘Illat adalah الوصف الظاهر المنضبط المناسب للحكم” artinya: kualitas yang jelas dan dapat diterapkan dalam setiap individu (peristiwa), dan bersesuaian (dengan ruang dan waktu) bagi hukum. (Praja, Juhaya S, Filsafat Hukum Islam. (Bandung: Pusat penerbitan Universitas, 1995) hal. 67).

[12] Abu Zahrah, Muhammad. Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah. (Kairo: Dar Al-Fikr Al-Arabi, t.th) hal. 17.

[13] Khudlori Bik, Muhammad. tarikh tasyri’. hal. 196.

[14] ibid.

[15] Ahmad Mahmud Asy-Syafi’i. Ushul Fiqh Al-Islami. (Beirut: Mansyurat Al-Halabi, 2002) Hal 13.

[16] Badran, Abu Al-’Ainain. Al-wajiz fi ushul fiqh. hal. 13. Ahmad Mahmud Syafi’i. Ushul Fiqh Al-Islami. Hal 13.

[17] Ibid.

[18] Sya’ban Ismail. Ushul Fiqh Tarikhuhu wa Rijaluhu. (Riyadl: Dar Al-Marikh, 1401 H) hal 31.

[19] Surat Al-Isra’: 78.

[20] Surat Al-Isra’: 78.

[21] As-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad Abu Bakar. Usul As-Sarkhasi. (Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1393 H) juz 1 hal 33.

[22] Sya’ban Ismail. Ushul Fiqh Tarikhuhu wa Rijaluhu. hal 31.

[23] Sya’ban Ismail. Ushul Fiqh Tarikhuhu wa Rijaluhu. hal 38-40.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar