Jumat, 11 Februari 2011

ISTISHHÂB SEBAGAI METODE ISTINBÂTH HUKUM DALAM ILMU USHUL FIQIH

Pengertian Istishhâb

Pertama: secara etimology istishhâb berasal dari bahasa Arab dari kata shahaba yang berarti mengikut sertakan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.[1]

Kedua: secara terminology istishhâb adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, atau meniadakan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah tidak berlaku sebelumnya.[2]

Dari pengertian diatas hal ini menunjukkan bahwa istishhâb merupakan penetapan hukum suatu perkara di masa sekarang ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.

Contoh sederhananya adalah tatkala kita menetapkan bahwa si X adalah pemilik rumah mobil –baik kepemilikannya itu terjadi melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si X adalah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan demikian dalam proses istishhâb ini melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.

Contoh kedua adalah Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhâb.

Macam-macam Istishhâb

Para ulama menyebutkan ada beberapa macam istishhâb, yaitu:

1. Istishhâb al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu. Seperti peniadaan kewajiban shalat wajib keenam. Karena apabila ada yang menetapkan kewajiban shalat wajib selain shalat wajib kelima (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib dan ‘isya) maka harus ditolak. [3] Karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.

Demikian juga jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.

2. Istishhâb berdasarkan dalil syar’î, yakni proses istishhâb dengan menggunakan keumuman nash al-Qur’ân maupun al-Sunnah dan menolak mengkhususkannya, dan juga istishhâb yang menggunakan nash dan menolak menghapuskannya. Dan menurut kesepakatan ulama bahwa adanya keharusan untuk menggunakan keumuman nash.[4]

3. Istishhâb terhadap ketetapan dan keberlangsungan hukum yang telah ditunjukkan syara’ karena adanya sebab yang menetapkannya sampai datang dalil atau bukti yang memperselisihkannya. Seperti keberlangsungan kepemilikan si X setelah melalui penetapan sebab jual beli misalnya, sehingga datang orang lain yang menghapus kepemilikannya sebab hibah, warisan dan sebagainya. Dan keberadaan istishhâb ini benar adanya. [5]

4. Istishhâb hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. [6]

Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhâb dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?

Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhâb dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.

Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhâb ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhâb kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.[7]

Kedudukan Istishhâb

Penggunaan istishhâb sebagai proses istinbâth hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Berikut ini adalah kedudukan istishhâb:

Pendapat pertama, menurut ulama Mâlikiyah, Hanâbilah, mayoritas ulama Syafî’iyah dan sebagian Hanafiyah bahwa istishhâb dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). [8] Dasar hukumnya adalah:

Pertama: Firman Allah SWT.

Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [9]

Dalam yat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku. [10]

Kedua: Hadits Rasulullah SAW.

لا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا

Artinya: “janganlah dia meninggalkan shalatnya hingga dia mendengarkan suara atau mencium bau.[11]

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memberi kepada kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) meskipun ada keraguan bahwa wudhu’nya telah batal. Dan Rasulullah melarang untuk meninggalkan shalat sehingga kita menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal, yaitu mendengar suara atau mencium bau.

Ketiga: Ijma’.

Ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhâb. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal. [12]

Pendapat kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiyah bahwa istishhâb tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. [13] Alasannya adalah:

1. Menggunakan istishhâb berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhâb adalah sesuatu yang batil.

2. Istishhâb akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhâb, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhâb pula. [14]

Dengan melihat dalil-dalil yang disampaikan oleh kedua belah pihak ini, terlihat bahwa dalil yang disampaikan oleh pihak pertama jauh lebih kuat dari pendapat lainnya, yakni bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.

Para fuqaha pun bersepakat tentang adanya kaidah al-yaqîn la yazûlu bi al-syakk dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhâb ini. Itulah sebabnya, hakin dalam pengadilan memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[15]

Maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa hukum yang bersifat tetap dan pasti harus ditetapkan dan berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut tidak boleh saling bertentangan.contoh: apabila sesorang memiliki harta yang diperolehnya melalui jual beli, warisan atau sebab lain dengan cara yang halal dan benar maka hukumnya menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak bisa berpindah tangan kecuali ada bukti lain yang datang kemudian. Karena hak milik tersebut berpedoman pada sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal tersebut bersifat tetap dan pasti, dan tidak bisa dihapus oleh keraguan yang tidak didasari dengan alat bukti yang kuat.

Syarat Istishhâb dalam Istinbâth Hukum

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menerapkan istishhâb ini sebagai dalil yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menghadapi permasalahan hukum adalah dengan cara mencari dengan teliti dalil-dalil yang saling berseberangan, sehingga dapat menjadi dalil-dalil yang bersifat qathî maupun zhannî. [16] Dengan demikian penerapan istishhâb ini pada akhirnya akan menjadi dalil-dalil yang qathî ataupun zhannî.

Pertama: Penerapan istishhâb sebagai dalil qathî, yakni jika ada dalil yang bersifat qathî dengan meniadakan dalil yang saling berseberangan, seperti peniadaan shalat wajib keenam.

Kedua: Penerapan istishhâb sebagai dalil zhannî, yakni jika ada dalil yang bersifat zhannî yang meniadakan dalil yang saling bersebarangan. Maksudnya adalah jika ada dalil yang berseberangan yang diketahui dan disangka ketetapannya maka diunggulkan dengan cara melalui proses istinbâth hukum istishhâb.[17]

Ketiga: Meninggalkan penerapan istishhâb sebagai dalil qathî jika diketahui ada dalil yang saling berseberangan. Seperti kewajiban puasa ramadhan.

Keempat: Meninggalkan penerapan istishhâb sebagai dalil zhannî jika disangka ada dalil yang saling bersebarangan.

Tetapi harus diketahui bahwa ada hal-hal yang perlu untuk diperhatikan:

1. Istishhâb merupakan alternatif terakhir dalam berijtihad, hal ini digunakan agar dapat berlindung dari peniadaan penggunaan dalil-dalil dari al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs. Dan jika meniadakan dalil-dalil ini tatkala tidak menjumpai dalil atas hukum yang terjadi maka proses istishhâb harus berlangsung demi kepastian hukum. Sehingga istishhâb adalah paling lemahnya dalil. [18]

2. Istishhâb terkadang bersesuaian dengan dalil yang bersifat khusus lalu menjadi penguat dan pengokoh, dan kadang istishhâb tidak bersesuaian dengan dalil yang lain tetapi menjadi sandaran bagi peniadaan dalil yang saling bersebarangan.[19]

3. Penerapan istishhâb harus berdasarkan atas peniadaan dalil yang berseberangan dan harus berhati-hati dalam menerapkannya. Seperti meluaskan proses istishhâb yang sudah dijelaskan oleh nash, mayoritas ulama yang meluaskan proses istishhâb ini sudah memahami nash yang ada. Sehingga mereka tidak menghiraukan adanya isyarat, tanda-tanda, tetapi tatkala tidak memahami nash maka mereka meniadakannya dan menerapkan proses istishhâb ini.[20]

Kaidah-kaidah yang Dibangun Atas Dasar Istishhâb

Dibawah ini ada beberapa contoh kaidah fiqhiyyah yang dibangun dari proses istishhâb:

1. Kaidah اليقين لا يزال بالشك (al-yaqîn la yazûlu bi al-syakk) [21], artinya: “sesuatu yang yakin keberadaannya tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu yang meragukan”. Dan kaidah ini termasuk dalam lima kaidah yang utama dan meliputi permasalah fiqhiyyah.

2. Kaidah الأصل بقاء ما كان على ما كان (al-ashl baqâu mâ kâna alâ mâ kâna),[22] artinya: “hukum yang terkuat adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”. Maksudnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau sampai datang ketentuan hukum lain yang merubahnya.

3. Kaidah الأصل براءة الذمة (al-ashl barâah al-dzimmah),[23] artinya: “hukum yang terkuat adalah terbebasnya seseorang dari adanya tanggung jawab”.

4. Kaidah الأصل العدم (al-ashl al-‘adam),[24] artinya: “hukum yang terkuat (tatkala terjadi perselisihan) adalah tidak adanya sesuatu”.

Penutup

Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhâb secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhâb sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhâb terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhâb dalam Fikih Islam.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. Al-Qur’ân dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.

Bukhâri, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahîh Bukhari Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407

Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukâb al-Munîr Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.

Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn Beirut: Dâr al-Jail, tt.

Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisân al-‘Arab Beirut: Dâr Shadr, tt.

Ibn Qudâmah, Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir Riyadh: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399

Ibn Taimiyyah Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatâwa Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404

Muhammad Amir Badsyah, Taisir al-Tahrir Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Muslim, Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahîh Muslim Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996

Qurthûbi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.

Suyûthî, Jalâluddîn Abdurrahmân al-, Al-Asybâh wa al-Nazhâir fî Qawâ’id wa Furû’ Fiqh al-Syafî’iyyah Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar Kairo: Dâr al-Kitab al-Jami’î, 1415

Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh Beirut: Dâr al-Fikr, 1999



[1] Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz I hlm., 519.

[2] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz I, hlm., 339.

[3] Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr (Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.), juz IV, hlm., 404.

[4] Abdullah bin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir (Riyadh: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 391.

[5] Ibid, hlm., 392.

[6] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dâr al-Kitab al-Jami’î, 1415), Juz II, hlm., 109.

[7] Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm., 407.

[8] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm., 116.

[9] Surat al-An’âm: 145.

[10] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthûbi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.), Juz VII, hlm., 116.

[11] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhâri, Shahîh Bukhari (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407), Juz I, hlm., 64. Muslim Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahîh Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), Juz I, hlm., 276.

[12] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 112.

[13] Muhammad Amir Badsyah, Taisir al-Tahrir (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Juz IV, hlm., 176.

[14] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm., 115.

[15] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 116.

[16] Ibn Qudâmah, Raudhah al-Nâzhir, hlm., 391.

[17] Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz XIII, hlm., 121-122.

[18] Ibid, Juz XIII, hlm., 121.

[19] Ibid, Juz XIII, hlm., 122.

[20] Ibid, Juz XXIII, hlm., 16.

[21] Jalâluddîn Abdurrahmân al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâir fî Qawâ’id wa Furû’ Fiqh al-Syafî’iyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm., 90.

[22] Ibid, hlm., 90.

[23] Ibid, hlm., 95.

[24] Ibid, hlm., 103.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar