Jumat, 11 Februari 2011

KEHUJJAHAN AL-SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM ILMU USHUL FIQIH

Pengertian Al-sunnah

Pertama: secara etimology al-sunnah berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan yang diikuti, jalan ini dapat berupa kebaikan maupun keburukan. [1]

Seperti sabda Rasulullah SAW:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها...

Artinya: ” barang siapa berbuat (memberi contoh) yang baik, maka dia akan mendapatkan pahala dan pahala dari orang yang mengikuti perbuatan baiknya tersebut...”. [2]

Kedua: secara terminology adalah

1. Menurut ulama fiqih: al-sunnah adalah anonim dari wajib. Dan dapat juga sebagai anonim dari bid’ah. [3] Dalam hal ini ulama ahli fiqih memandang perbuatan Rasulullah SAW yang dipastikan tidak keluar dari petunjuk terhadap adanya hukum syara'. Tinjauan ulama ahli fiqih ini berhubungan dengan hukum syar'i terhadap perbuatan hamba Allah dari segi wajib, atau sunnah, atau haram, atau makruh, atau mubah.

2. Menurut ulama hadits: al-sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (pengakuan), dan sifat (termasuk didalamnya akhlak dan jasmaninya). [4] Dalam hal ini ulama ahli hadits memandang Rasulullah sebagai seorang imam yang diberitakan oleh Allah, bahwa beliau sebagai suri teladan dan panutan bagi umat manusia. Maka para perawi meriwayatkan segala yang berkaitan dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan, dan perbuatan dari Rasulullah SAW, baik yang telah ditetapkan sebagai hukum syar'i maupun tidak.

3. Menurut ulama ushul fiqih: al-sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain Al-Qur’an, yang meliputi qoul (perkataan), fi’il (perbuatan), taqrîr (pengakuan), tulisan, isyarat, sesuatu yang penting dan sesuatu yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. [5] Dalam hal ini ulama ahli ushul fikih memandang Rasulullah SAW sebagai penyampai syariat Allah dengan meletakkan kaidah-kaidah bagi para mujtahid dimasa sesudahnya, juga menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan di dunia. Maka mereka memperhatikan perkataan, perbuatan serta ketetapan Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum dan memutuskannya pada suatu masalah hukum yang harus segera mendapatkan kepastian hukumnya.

Dibawah ini penjelasan yang berhubungan dengan al-sunnah qouliyah, fi’liyah dan taqrîriyah. [6]

Pertama: yang dimaksud dengan al-sunnah qouliyah adalah ucapal-ucapan Rasulullah SAW dalam tujuan dan hubungan yang berbeda-beda. seperti: إنما الأعمال بالنيات [7] dan المسلم أخو المسلم. [8]

Kedua: yang dimaksud dengan al-sunnah fi’liyah adalah perbuatal-perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW seperti: Cara mengerjakan shalat , manasik haji, puasa dan sebagainya.

Ketiga: Dan yang dimaksud dengan al-sunnah taqrîriyah adalah pengakuan Rasulullah SAW terhadap perkataan, perbuatan sebagian sahabat secara terus terang dan tidak mengingkarinya secara terus terang. Karena Rasulullah SAW diutus untuk menjelaskan syariat islam, dan jika ada sebagian sahabat beliau yang berkata dan berbuat dalam sebuah masalah hukum dan ketika itu Rasulullah SAW mendiamkannya dan tidak mengingkari sahabat tersebut hal ini merupakan keputusan dan penyataan dari Rasulullah SAW.

Al-sunnah taqrîriyah ini terkadang berupa diamnya Rasulullah SAW tanpa mengingkarinya (dan Rasulullah SAW tidak memberikan pernyataan sedikitpun dan beliau menyetujui perkataan, perbuatan sahabat tersebut). Tetapi juga terkadang Rasulullah SAW memberikan isyarat untuk menyetujuinya.

Seperti dalam suatu riwayat ada dua sahabat bepergian ketika sudah masuk waktu shalat keduanya tidak menemukan air lalu mereka tayammum sebagai ganti dari wudlu’ kemudian mereka melanjutkan perjalanannya dan ditengah perjalanan menemukan air sedangkan waktu shalat masih ada, lalu salah satu dari mereka berdua berwudlu’ dan mengulangi shalatnya sedangkan yang satunya tidak. Ketika keduanya sudah kembali kemadinah hal tersebut diceritakan pada rasul dan rasul bersabda pada yang tidak mengulangi shalatnya Engkau telah melaksanakan sunnah dan cukuplah shalatmu. Dan rasul bersabda kepada yang mengulangi shalatnya engkau mendapatkan dua pahala. [9]

4. Al-sunnah adalah hikmah seperti dalam firman Allah SWT:

Artinya: “Dan (juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”.[10] Seperti yang dinyatakan imam Syafi’i: ”Hikmah merupakan al-sunnah yang datang dari Rasulullah SAW”. [11]

Perbedaan Antara Al-Sunnah dan Al-Khabar

Pengertian dari al-sunnah sudah dijelaskan di atas, kemudian pengertian dari al-khabar secara etimology mempunyai arti berita. Sedangkan secara terminology berarti suatu berita yang mengandung kemungkinan benar dan salah. Dalam hal ini adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW selain al-Qur’ân, atau sesuatu yang lahir dari sahabat dan tâbi’în (al-Atsar).[12]

Kehujjahan Al-Sunnah Dari al-Qur’ân

Dalam menggunakan al-sunnah sebagai sumber hukum utama setelah al-Qur’ân didukung oleh banyaknya ayat-ayat al-Qur’ân yang menyuruh kita taat kepada Rasulullah SAW. Berikut beberapa ayat yang berisi tentang kehujjahan al-sunnah:

Pertama:

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.[13] Maksud ayat ini adalah kita hendaknya selalu mengikuti pada perintah Allah dan rasul-Nya, dan mengikuti al-sunnah Rasulullah SAW sebagai sebuah kewajiban, karena beliaulah yang diberi wahyu al-Qur’ân, hikmah dan kerasulullahan dan kita tidak diperbolehkan untuk menentang dan mengingkari keberadaan al-sunnah (yang mutawâtir dan ahâd). [14]

Artinya: ”Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".[15]

Artinya: ”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi”. [16]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. [17]

Pembagian Al-Sunnah Ditinjau Dari Hubungannya Dengan al-Qur’ân

1. Al-sunnah al-Muakkadah, yakni al-sunnah yang mempunyai kesesuaian dengan al-Qur’ân dari semua segi, seperti adanya kewajiban shalat merupakan ketetapan hukum wajib yang didasarkan pada al-Qur’ân dan al-sunnah. [18]

2. Al-sunnah al-Mubayyanah, yakni al-sunnah yang berfungsi menafsirkan ayat al-Qur’ân yang masih bersifat global dari segi lafazh dan maknanya. Menurut imam Syafi’i: ayat dari al-Qur’ân ini secara global menjelaskan adanya hukum-hukum yang berlaku bagi manusia, tetapi al-sunnah disini berfungsi sebagai penjelas tata cara dan konsekwensi hukum, seperti jumlah hitungan dalam shalat, zakat dan pelaksanaan waktu mengerjakannya dan juga konsekwensi hukum bagi yang taat dan yang tidak mentaati hukum tersebut”. [19]

3. Al-sunnah al-Istiqlâliyyah, yakni al-sunnah yang berfunsi sebagai penambah terhadap hukum yang ada dalam al-Qur’ân. Maksudnya adalah hukum tersebut ditambah oleh al-sunnah tatkala di dalam al-Qur’ân tidak ditemukan jawaban hukum atas sebuah permasalahan baik berupa kewajiban, keharaman seperti hukum warisan bagi nenek, hukum syuf’ah (hukum membeli lebih dahulu). [20]

Pembagian Al-sunnah Ditinjau Dari Cara Sampainya Kepada Umat Islam: Mutawâtir Dan Ahâd[21]

Yang dimaksud al-sunnah ditinjau dari cara sampainya kepada umat islam adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad al-sunnah tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini al-sunnah dibagi menjadi mutawâtir dan ahâd.

1. Al-sunnah Mutawâtir

a. Pengertian Mutawâtir

Pertama: secara etimology, mutawâtir berasal dari bahasa Arab yang berarti yang berurutan. [22]

Kedua: secara terminology, mutawâtir menurut ulama ushul fiqih adalah al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi al-sunnah mutawâtir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum al-sunnah mutawâtir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). [23]

b. Pembagian al-sunnah Mutawâtir

Al-sunnah mutawâtir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawâtir lafzhî dan ma’nawî. [24]

Pertama: mutawâtir lafzhî, yakni kesepakatan atas redaksi al-sunnah yang sama pada tiap riwayat baik lafazh dan maknanya, seperti mutawâtirnya al-Qur’ân atau al-sunnah berikut ini: من كذب علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار

Artinya: “barang siapa secara sengaja (berusaha) berdusta kepadaku (terhadap lafazh dan makna al-sunnah) maka disediakan baginya kedudukan di dalam neraka”. [25]

Kedua: mutawâtir ma’nawî, yakni kesepakatan atas makna al-sunnah pada tiap riwayat tetapi terdapat perbedaan dalam redaksinya. Seperti al-sunnah tentang adanya syafaat dari Rasulullah, shirâtal mustaqim, telaga di surga.

c. Kedudukan al-sunnah mutawâtir

Al-sunnah mutawâtir ini mempunyai kedudukan sebagai dalil qath’î, hal ini sudah disepakati oleh para ulama, dengan demikian adanya kewajiban dalam mengamalkannya dan tidak dapat diragukan lagi atas keberadaan al-sunnah mutawâtir ini.[26] Tetapi para ulama berbeda pendapat apakah al-sunnah mutawâtir ini merupakan sebuah kebutuhan pokok atau bersifat teoritis saja? Perbedaan ini ditinjau dari lafazhnya, karena semua ulama sepakat bahwa al-sunnah mutawâtir memberikan manfaat sebagai ilmu pengetahuan dan kepastian, tetapi mereka berbeda pendapat tentang al-sunnah mutawâtir sebagai jenis ilmu pengetahuan: jika dilihat dari segi akal dan pikiran mengharuskan untuk membenarkan, maka hal ini al-sunnah mutawâtir disebut sebagai sebuah kebutuhan pokok. Dan jika dilihat dari segi keperluan al-sunnah mutawâtir kepada adanya muqaddimah, maka hal ini disebut sebagai al-sunnah mutawâtir yang bersifat teoritis. [27]

d. Syarat-syarat al-sunnah mutawâtir

Pertama: periwayatan yang disampaikan adalah untuk memberitahukan adanya informasi sebagai ilmu pengetahuan dan mempunyai kepastian, bukan atas dasar keraguan dan ketidak pastian.

Kedua: periwayatan yang disampaikan harus didasarkan pada perasaan, bukan untuk atas dasar logika atau lainnya.

Ketiga: orang yang meriwayatkan sebuah al-sunnah harus banyak tidak boleh sedikit jumlahnya. Hal ini tidak ada batasan jumlah berapa orang yang meriwayatkannya, tetapi banyaknya jumlah orang yang mampu meriwayatkan al-sunnah menjadi sebuah ilmu pengetahuan dan kepastian.

Keempat: periwayat yang banyak ini tidak berkolusi untuk menyampaikan al-sunnah dengan cara berdusta atau merahasiakannya.

Kelima: harus ada syarat yang berlaku di seluruh urutan sanad. [28]

Sedangkan syarat-syarat khusus al-sunnah mutawâtir adalah periwayat beragama islam dan mempunyai kompetensi dalam bidang keilmuannya.

2. Al-sunnah ahâd.

a. Pengertian ahâd

Pertama: secara etimology, ahâd berasal dari bahasa Arab berbentuk kata majemuk dari kata ahâd yang berarti satu atau individu. [29]

Kedua: secara terminology, al-sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawâtir.[30]

b. kedudukan al-sunnah ahâd

Ulama telah bersepakat atas penggunaan al-sunnah dengan riwayat ahâd ini.[31] Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini adalah:

Pertama: bahwa Muhammad SAW dalam menjalankan tugasnya sebagai Rasulullah selalu menyampaikan hukum-hukum Allah seperti menarik pajak dan berdakwah, semuanya itu dilakukan oleh beliau sendiri dan diberitakan melalui al-sunnah. [32]

Kedua: ijma’ sahabat Rasulullah SAW yang menyatakan al-sunnah ahâd yang bersumber dari Rasulullah SAW harus diterima dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum. [33]

Ketiga: firman Allah SWT:

Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.[34]

Bahwa Allah SWT memerintahkan kepada beberapa orang (disini menunjukkan pada arti sedikit dan banyak) untuk memberikan peringatan kepada kaumnya. sehingga hal ini dapat menjadi hujjah kaum itu akhirnya dapat menjaga dirinya setelah mendapat peringatan. [35] Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa khabar, al-sunnah, hadits ahâd dapat dijadikan sebagai hujjah.

Penutup

Al-Sunah (hadits) menempati kedudukan kedua dalam dalil-dalil syari'at. Penerimaan Al-sunnah sebagai dalil dalam hukum syar'i ditegaskan baik oleh Al-Qur'an, hadits itu sendiri maupun contoh perbuatan para sahabat.
Penolakan terhadap keyakinan ini akan berdampak pada dualisme.

Di satu sisi ia mengakui bahwa Al-Qur'an benar adanya tetapi di sisi lain ia tidak mau beriman kepada seluruh isi Al-Qur'an. Bagaimana mungkin orang yang tidak mau menanati Rasul dikatakan beriman pada seluruh Al-Qur'an; padahal hal yang demikian justru diperintahkan oleh Al-Qur'an??
Oleh karena itu mari kita simak peringatan Allah kepada bangsa Yahudi yang pilih kasih terhadap ayat-ayat Taurat, "Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lainnya? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang berat." (QS. Al-Baqarah: 85)

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. Al-Qur’ân dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.

Abu Dawud, Sulaimân bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud Beirut: Dâr al-Fikr, tt..

Abdulkarîm zaidân, Al-Wajîz fî ushûl al-Fiqh Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976.

Abdulwahâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh Kairo: Dâr al-Hadits, 2003.

Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984.

Bukhâri, Muhammad bin Isma’îl Abu Abdullah al-, Shahih al-Bukhâri Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407.

Fayûmi, Ahmad bin Ahmad al-, Al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîb al-Syarh al-Kabîr Beirut: al-maktabah Al-Ilmiyah, tt.

Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukâb al-Munîr Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt..

Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abi Bakar Abu Abdullah al-Jauziyah, I’lâm al-Muwaqi’în Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, 1470.

Ibn Manzhur Muhammad bin Mukrim, Lisân al-‘Arab Beirut: Dâr Shadr, tt.

Iyadl bin Nami al-Silmy, Ushul Fiqh alladzi La Yasa’ al-Faqîhu Jahlahu Riyadh: Maktabah al-Mamlakat al-’Arabiya, tt.

Khatîb al-Baghdadi, Ahmad bin Ali bin Tsabit al-, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400.

Muslim Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996.

Qâsimî, Muhammad Jamâluddîn al-, Qawâ’id al-Tahdîts fî Funûn mushthalah al-Hadîts Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2004.

Qurthubi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr Ihya’ at-Turâts, tt.

Shafiuddîn al-Hanbali, Qawaid al-Ushûl wa Ma’âqid al-Fushûl Mekkah: Jami’ah Umm al-Qurra’, 1409.

Syâfi’i, Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-, Al-Risalah Beirut: Maktabah Ilmiyah, tt.



[1] Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz II, hlm., 47.

[2] Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), Juz III, hlm., 704.

[3] Abdulkarîm zaidân, Al-Wajîz fî ushûl al-Fiqh (Baghdad: Muassasah Qurthuba, 1976 M), hlm., 161.

[4] Muhammad Jamâluddîn al-Qâsimî, Qawâ’id al-Tahdîts fî Funûn mushthalah al-Hadîts (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2004), hlm., 64.

[5] Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984), Juz I, hlm., 156.

[6] Abdulwahâb Khallâf, ’Ilm Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Hadits, 2003), hlm., 40-41.

[7] Muhammad bin Isma’îl Abu Abdullah al-Bukhâri, Shahih al-Bukhâri (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407), Juz I, hlm., 135.

[8] Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz II, hlm., 862. Muslim, Shahih Muslim, Juz VIII, hlm., 18.

[9] Sulaimân bin al-Asy’ats Abu Dawud, Sunan Abu Dawud (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Juz I, hlm., 468.

[10] Surat al-Nisâ’: 113.

[11] Muhammad Bin Idris Abu Abdullah Al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Maktabah Ilmiyah, t.th) hlm., 78.

[12] Iyadl bin Nami al-Silmy, Ushul Fiqh alladzi La Yasa’ al-Faqîhu Jahlahu (Riyadh: Maktabah al-Mamlakat al-Arabiya, t.th), hlm., 56.

[13] Surat al-Ahzâb : 36.

[14] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ at-Turâts, tt.), Juz XIV, hlm., 187.

[15] Surat Ali ’Imrân : 32.

[16] Surat al-Nisâ’ : 79.

[17] Surat al-Hujurât : 1.

[18] Muhammad bin Abi Bakar Abu Abdullah ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lâm al-Muwaqi’în (Beirut: Maktabah al-’Ashriyyah, 1470), Juz II hlm., 307.

[19] Al-Syafi’i, Al-Risalah, hlm., 21-22.

[20] Ibid.

[21] Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatîb al-Baghdadi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih (Beirut: Dar al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1400 H), Juz I, hlm., 95.

[22] Ahmad bin Ahmad al-Fayûmi, Al-Mishbâh al-Munîr fi Gharîb al-Syarh al-Kabîr (Beirut: al-maktabah Al-Ilmiyah, t.th.), hlm.,647.

[23] Shafiuddin al-Hanbali, Qawaid al-Ushûl wa Ma’âqid al-Fushûl (Mekkah: Jami’ah Umm al-Qurra’, 1409), hlm. 40.

[24] Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr (Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.), juz II, hlm., 392-333.

[25] Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I, hlm., 302. Muslim, Shahih Muslim, Juz I, hlm., 67.

[26] Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm., 317.

[27] Ibid, juz II, hlm., 327.

[28] Al-Khatîb al-Baghdadi, Al-Faqîh wa al-Mutafaqqih, Juz I, hlm., 96.

[29] Al-Fayûmi, Al-Mishbâh al-Munîr, hlm.,650.

[30] Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz II, hlm., 345.

[31] Ibid, juz II, hlm., 361-368.

[32] Ibid, juz II, hlm., 375.

[33] Ibid juz II, hlm., 369.

[34] Surat at-Taubah: 122.

[35] Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz VIII, hlm., 294.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar