Jumat, 11 Februari 2011

ISTIHSÂN DAN KEDUDUKANNYA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM

Pendahuluan

Ilmu ushul fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad dan istinbâth hukum dalam Islam. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya. Atau dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbâth tetap berada pada koridor yang semestinya.

Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan ushul fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbâth para mujtahid. Disamping faktor eksternal ushul fiqih itu sendiri –seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya-, internal ushul fiqih sendiri –pada sebagian masalahnya- mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para ulama ushul fiqih. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul) al-Mukhtalaf fiha, atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.

Pengertian Istihsân

Pertama: secara etimology istihsân adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsân sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain”. [1]

Kedua: secara terminology kata istihsân para ulama ushul fiqih mempunyai definisi yang berbeda-beda, seperti yang ada dibawah ini:

1. Mengunggulkan dalil yang satu dari dalil yang lainnya yang ada. Atau Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil. Artinya adalah meninggalkan pemikiran (qiyâs) terhadap hukum sebuah masalah dengan mengambil dalil yang paling khusus.[2]

2. Menghindar dari proses qiyâs. Seperti diperbolehkan masuk ke kolam renang dengan tanpa memperhitungkan penetapan harga tertentu, padahal dalam proses qiyâs bahwa pembayaran itu harus mempunyai standart yang jelas.[3]

3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh.[4]

4. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafazhnya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.[5]

5. Ungkapan tentang pengkhususan qiyâs dengan dalil yang lebih kuat darinya.[6]

6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’ârodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. [7]

7. Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya. [8]

Dari uraian pengertian istihsân diatas, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsân adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama dan hal ini selalu berdasarkan atas adanya dalil syar’i.

Proses istihsân tersebut harus memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat bahwa sesungguhnya makna istihsân itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya. Dan definisi yang terakhir dapat dinyatakan sebagai definisi yang batal, karena istihsân adalah proses pemikiran terhadap adanya beberapa dalil dan proses pemikiran tanpa mengikut sertakan dalil syariat islam.

Dan berikut ini adalah penjelasan tentang perbedaan pengertian istihsân yang benar dan yang salah:

1. Istihsân termasuk lafazh mujmal (universal), sehinggga tidak dibenarkan menganggap kemutlakan hukumnya atas dasar benar dan salah.

2. Apabila istihsân ditetapkan dan dijadikan sebagai proses istinbâth hukum oleh seorang mujtahid, maka hal ini adalah pengertian istihsân yang benar.

3. Apabila seorang mujtahid menolak istihsân dalam menggunakannya sebagai istinbâth hukum dan mencaci maki yang menggunakannya, maka hal ini adalah memberikan pengertian istihsân yang salah.

4. Telah disepakati kewajiban penggunaan istihsân dalam pengertian yang benar sebagai istinbâth hukum dan tidak ada pertentangan kewajiban penggunaan dalil yang lebih unggul diantara beberapa dalil yang ada, tetapi hanya sebatas perbedaan dalam memberikan uraian pengertian istihsân.

5. Telah disepakati keharaman penggunaan istihsân dalam pengertian yang salah sebagai istinbâth hukum. Menurut ijmâ’ ulama bahwa tidak diperbolehkan memberikan pernyataan dengan mengatas namakan perintah dan larangan Allah tanpa menggunakan dalil yang jelas dan shahih, apalagi jika dalam menetapkan hukum tersebut hanya mengandalkan logika dan perasaan tanpa ada dalil. [9]

Misalnya adalah pendapat yang dari Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsân, sedangkan jika menurut metode qiyâs maka tayammum mempunyai kedudukannya yang sama dengan berwudhu, dan tidak diwajibkan lagi berwudlu dengan menggunakan air pada setiap waktu shalat, kecuali jika batal wudhunya. Hal ini mempunyai arti bahwa, tayammum menurut kacamata qiyâs seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsân Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti walau tidak batal wudlunya.[10]

Sejarah metode Istihsân

Penggunaan Istihsân tidak ditegaskan secara eksplisit dan terperinci dalam nash al-Qur’ân ataupun al-Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan penggunaan Istihsân di kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan logika di kalangan mereka.

Penggunaan logika sendiri dibenarkan kedudukannya oleh Rasulullah SAW, seperti dalam hadits Mu’âdz bin Jabal r.a. Hal ini yang menjadikan para sahabat kemudian menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka. Penggunaan logika (ra’yu) tentu saja dengan pemahamannya yang luas, termasuk di dalamnya metode qiyâs, Istihsân, Istishâb, Sadd adz-Dzarî’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Ini harus menunjukkan adanya pemahaman yang luas berkaitan dengan maqâshid Syarî’ah. Seperti yang dikatakan oleh Umar bin al-Khaththâb r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.”[11] Dibalik dari ucapan Umar bin al-Khaththâb ini ada pemahaman yang jelas bahwa tidak semua ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas jalan Syariat.

DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-Musyarrakah dengan menggunakan proses istinbâth hukum istihsân di masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung. [12]

Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsân menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah. Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsân sering disandingkan dengan qiyâs. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyâs seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsân. [13]

Kedudukan Istihsân

Penggunaan istihsân sebagai proses istinbâth hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Berikut ini adalah kedudukan istihsân:

Pendapat pertama, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah bahwa istihsân dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). [14] Dasar hukumnya adalah:

Pertama: Firman Allah SWT

Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.[15]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa istihsân adalah hujjah. [16]

Dan firman Allah SWT

Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku, Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya” [17]

Ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.[18]

Kedua: Hadits Nabi SAW

فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ

Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” [19]

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan istihsân.

Ketiga: Ijmâ’

Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijmâ’ dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsân, seperti: Diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya. [20]

Pendapat kedua, menurut ulama Syafi’iyah dan Zhahiriyah bahwa istihsân tidak dapat dijadikan proses istinbâth hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil). [21] Dasar hukumnya adalah:

Pertama: Firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”. [22]

Ayat ini menunjukkan adanya kewajiban kembali kepada dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah dalam menyelesaikan suatu masalah, dan istihsân tidak dianggap sebagai proses merujuk kepada dalil nash al-Qur’ân dan al-Sunnah. Dengan demikian, istihsân tidak dapat dijadikan sebagai proses istinbâth hukum. [23]

Ibn Hazm menyatakan: “Para sahabat telah berijmâ’ untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya Istihsân dan qiyâs. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah.’ ..”.[24]

Macam-macam Istihsân

Para ulama yang mendukung penggunaan istihsân membagi istihsân dalam terbagi menjadi: istihsân dengan nash, ijmâ’, dhorurat, qiyâs khafî, ‘urf, dan mashlahah. [25]

1. Istihsân dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyâs dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’ân atau al-Sunnah.

Diantara contohnya adalah:

Pertama: hukum wasiat, dalam prespektif qiyâs maka wasiat tidak diperbolehkan, karena hak kepemilikan tergantung pada waktu hilangnya kepemilikan (setelah meninggalkanya orang yang berwasiat. Tetapi hal ini mendapat pengecualian dari nash: Artinya: “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”. [26] Dan jika ada yang mengatakan: “hartaku ini aku sedekahkan”: hal ini jika memakai proses qiyâs menunjukkan keharusan mensedekahkan semua hartanya, tetapi jika memakai proses istihsân maka menunjukkan membelanjakan hartanya dengan berzakat:

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. [27]

Kedua: hukumnya orang yang lupa makan atau minum saat berpuasa, jika memakai qiyâs maka batal puasanya sebab ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang makan atau minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:

مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ

Artinya: “barang siapa makan atau minum dalam keadaan lupa, maka wajib baginya menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan atau minum”. [28]

2. Istihsân dengan ijmâ’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijmâ’ –baik yang sharih maupun sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyâs atau kaidah umum.

Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyâs seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar Istihsân pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut. [29]

3. Istihsân dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyâs menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh Istihsân dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firmal-Nya:

Artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”. [30]

Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid. [31]

4. Istihsân dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan.

Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsân dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara qiyâs seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya. [32]

5. Istihsân dengan Qiyâs Khafi. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyâs jalî untuk mengunggulkan qiyâs khafî.

Penggunaannya berkebalikan dengan qiyâs jali, seperti wakaf tanah pertanian, menurut qiyâs jali: wakaf ini menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan penuh, maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyâs khafi: maka wakaf ini menyerupai akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk dilewati, dibuat jalan, istirahat minum dan sebagainya.

6. Istihsân dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan kemashlahatan yang berada dalam sebuah permasalahan. Seperti wasiat yang dilakukan oleh mahjûr (orang yang dicegah atau larang untuk membelanjakan hartanya). Menurut qiyâs maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena termasuk mendiamkan hartanya. Tetapi menurut kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat. Karena wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk memberikan kesempatan pada dia untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi meniadakan kedhoruratan saat hidupnya.

Penutup

Istihsân adalah salah satu metode istinbâth hukum dengan menggunakan ra’yu telah ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi SAW. Bahwa istihsân sesungguhnya dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya, terutama istihsân yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf. Lafazh Istihsân adalah lafaz yang bersifat mujmal (universal), sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah atau batal berdasarkan istihsân dalam artian umum (bahasa). Sebuah konsep penalaran dalam rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu kejadian yang tidak ditetapkan hokum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber hukum yang dipersamakan dengan qiyâs dan dengan sandaran yang kuat. Penggunaan istihsân dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti yang benar. Pengingkaran dan penolakan istihsân sebagai sumber hukum Islam dikalangan ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal semata.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur’ân dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004 M.

Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibânî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt.).

Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984).

Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahih Bukhari (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407).

Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.).

Ibn Hazm, Muhammad bin Muhammad al-Zhâhirî, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.).

Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.).

Ibn Qudâmah Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399).

Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404).

Jîzâni, Muhammad bin Husain Bin Hasan al-, Ma’âlim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu Mahnadh al-Najdî, 1427).

Jurjâni, Ali bin Muhammad bin Ali al-, Al-Ta’rifât (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1405).

Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996).

Râzi, Muhammad bin ‘Umar Abu Abdullah al-, Mafâtih al-Ghaib (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981).

Qarâfî, Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahmân al-Shonhajî Syihâbuddîn al-, Nafais al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998).

Syâtibi, Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-, Al-Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijâriyah al-Kubro, tt.).

Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jami’iy, 1415).

Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999).



[1] Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjâni, Al-Ta’rifât (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arabi, 1405), hlm., 4. lihat: Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz XIII, hlm., 117.

[2] Abdullah bin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 162.

[3] Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz IV, hlm., 46.

[4] Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishâq al-Syâtibi, Al-Muwâfaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir: Maktabah al-Tijâriyah al-Kubro, tt.), Juz IV, hlm., 205.

[5] Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahmân al-Shonhajî Syihâbuddîn al-Qarâfî, Nafais al-Ushûl fi Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998), Juz IX, hlm., 4126.

[6] Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr Al-Kutub al-‘Arabi, 1984), Juz IV, hlm., 57.

[7] Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqat, Juz IV, hlm., 208.

[8] Ibn Qudâmah, Raudhah al-Nâzhir, Juz I, hlm., 163.

[9] Muhammad bin Husain Bin Hasan al-Jîzâni, Ma’âlim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu Mahnadh al-Najdî, 1427), hlm., 224.

[10] Ibn Qudâmah, Raudhah al-Nâzhir, Juz I, hlm., 167.

[11] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz I, hlm., 55.

[12] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Jami’iy, 1415), Juz II, hlm., 29-31.

[13] Ibid, Juz II, hlm., 48-50.

[14] Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqat, Juz IV, hlm., 209. lihat: Ibn Qudâmah, Raudhah al-Nâzhir, Juz I, hlm., 167.

[15] Surat al-Zumar: 55.

[16] Muhammad bin ‘Umar Abu Abdullah al-Râzi, Mafâtih al-Ghaib (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), Juz VII, hlm., 246.

[17] Surat al-Zumar: 17-18.

[18] Ibn Qudâmah, Raudhah al-Nâzhir, Juz I, hlm., 167.

[19] Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibânî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt.), Juz I, hlm. 379.

[20] Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa, Juz IV, hlm., 46.

[21] Muhammad bin Muhammad bin Hazm al-Zhâhirî, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), Juz VII, hlm., 975.

[22] Surat al-Nisâ’: 59.

[23] Ibn Hazm, Al-Ihkâm fi Ushûl al-Ahkâm, Juz VII, hlm., 977.

[24] Ibid, Juz V, hlm., 759.

[25] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm., 86-90.

[26] Surat al-Nisâ’: 12.

[27] Surat al-Taubah: 103.

[28] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407), Juz VII, hlm., 233. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), Juz VII, hlm., 285.

[29] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 82.

[30] Surat al-Nûr: 36.

[31] Al-Syâtibi, Al-Muwâfaqat, Juz IV, hlm., 117.

[32] Ibid, Juz II, hlm., 85.

1 komentar:

  1. sya ucapkan terima kasih atas penjabaran tentang istishan yang anda jabarkan..

    BalasHapus