Abstrak :
Pembangunan sektor pariwisata di Indonesia terlihat berkembang cukup pesat dan mencapai angka yang signifikan, Salah satunya adalah pembangunan sektor perhotelan di satu sisi mampu memberikan keuntungan ekonomis yang terbilang cukup tinggi, sehingga mampu membawa pengaruh pada pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hotel syarî’ah adalah salah satu model hotel yang menawarkan berbagai fasilitas yang sesuai dengan nilai Islam, sehingga apabila dikembangkan akan membuka peluang pasar yang cukup menjanjikan, tentu saja tanpa bisnis perzinahan, alkohol dan narkoba. Justru dengan konsep syariat ini, tamu atau keluarga merasa nyaman dan aman menginap. Tidak adanya alkohol atau tempat hiburan yang berbau maksiat, maka kenyamanan mereka jadi terjaga.
Kata kunci : Hotel, Pariwisata dan Syarî’ah
Pendahuluan:
Sebagaimana dilangsir banyak media, pariwisata merupakan salah satu devisa terbesar bagi Negara Indonesia, hal ini menjadikan Kementerian Budaya dan Pariwisata Republik Indonesia untuk mencanangkan visit Indonesia 2010. Dengan mengandalkan berbagai pesona wisata alam, seni, budaya dan religi yang menyebar di seluruh penjuru nusantara mulai dari Sabang sampai dengan Merauke. Sehingga pemerintah pusat juga memacu pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas dan fasilitas tempat wisata untuk menambah jumlah wisatawan yang berkunjung.[1]
Selanjutnya, pembangunan sektor pariwisata di Indonesia terlihat berkembang cukup pesat dan mencapai angka yang signifikan, sehingga mampu untuk menunjang pembangunan nasional secara keseluruhan. Kita dapat mengetahui dari semakin besarnya devisa yang dihasilkan dari sektor ini. Terlebih jika melihat berkembangnya geliat pariwisata yang semakin hari semakin marak ditandai dengan munculnya berbagai bisnis di sekitar dunia pariwisata seperti bisnis perhotelan, bisnis rumah makan, bisnis perjalanan wisata, dan bisnis souvenir khas daerah. Dan tidak dapat dipungkiri bahwa untuk mendukung suksesnya pariwisata di Indonesia dalam meningkatkan devisa negara maka diperlukan sumber daya manusia yang tinggi.
Atmosfir di dunia pariwisata ini di satu sisi memberikan keuntungan ekonomis yang terbilang cukup tinggi, sehingga mampu membawa pengaruh pada pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Dengan adanya kunjungan wisatawan lokal maupun asing dapat mendukung pendapatan bagi sejumlah orang mulai para pemandu wisata, tukang ojek, tukang parkir, sampai dengan para pedagang. Sehingga dunia pariwisata tidak hanya sekedar memberikan keuntungan bagi pemilik usaha bidang pariwisata tetapi juga mampu membuka peluang kerja bagi masyarakat di luar sektor pariwisata.
Akan tetapi sangat disayangkan apabila ada alasan tuntutan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, nilai luhur agama dan adat terabaikan. Seperti, demi meningkatkan pemasukan hotel, sejumlah hotel mengabaikan syarat-syarat bagi pengunjung hotel yang bukan suami istri untuk menginap, kamar “short time”, menyediakan pekerja seks komersil, perjudian, minuman keras dan narkoba. Hal ini mengakibatkan pola hidup dan perilaku sejumlah anggota masyarakat di sekitar obyek wisata menjadi menyimpang dari pola hidup dan perilaku aslinya. Dan tidak sedikit diantara mereka yang rela mengorbankan kode etik dan sopan santun untuk mengumpulkan keuntungan secara finansial. Seperti, ada sebagian orang yang berusaha keras sebagai perantara hotel untuk merayu para wisatawan untuk menginap dengan harapan orang tersebut memperoleh bonus dari pemilik hotel, ada pula yang secara terang-terangan menawarkan diri sebagai wali nikah mut’ah dalam “wisata seksual berijab kabul” seperti yang terjadi di daerah Puncak Bogor Jawa barat. [2]
Dimungkinkan hal tersebut terjadi, meskipun sebenarnya tidak selamanya dunia bisnis perhotelan harus identik dengan dunia hedonisme dengan adanya kehidupan malam bersuasana hura-hura dengan dilengkapi berbagai aksesoris berupa minuman beralkohol, narkoba dan “perempuan”. Dapat dipastikan apabila atmosfir itu terjadi adalah bukan menjadi harapan dan keinginan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai luhur agama dan adat. Dan Apabila hal tersebut diatas tidak segera diatasi dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat, dapat menimbulkan kemungkinan dunia pariwisata yang Islami akan mengalami kemandekan, bahkan secara perlahan mengalami kemunduran.
Tidak mengherankan apabila sebagian masyarakat masih ada yang mengatakan bahwa hotel identik dengan pesta minuman keras, narkoba, perselingkuhan, short time, atau prostitusi. Sehingga sebagian wisatawan muslim takut terkena fitnah apabila menginap di sebuah hotel. Dan jika para wisatawan muslim mengkomunikasikan pengalaman pahit tertentu kepada teman-temannya, lama kelamaan jumlah wisatawan muslim yang akan berkunjung ke hotel akan berkurang. Hal itu mengakibatkan mundurnya sektor pariwisata terutama di bidang perhotelan. Hotel yang identik dengan kemaksiatan semacam itu memang ada, akan tetapi barangkali tak seluruhnya seperti itu, masih banyak hotel yang bersih dari polusi maksiat. Sementara untuk membentuk citra hotel syarî’ah memang tak semudah membalik telapak tangan, bisnis perhotelan telah terlanjur memiliki “image” yang kurang sedap, sehingga untuk mengubah citra diperlukan langkah-langkah konkrit, tidak hanya sekedar menjadi wacana.
Mewujudkan Pariwisata Yang Islami
Pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia termasuk pengembangan sektor pariwisata membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Pengaruh tersebut langsung menyentuh pada identitas dasar masyarakat, yaitu sisi kebudayaan. Secara tidak langsung, perlahan-lahan tetapi pasti masyarakat terpengaruh oleh kebudayaan pendatang yang mereka anggap lebih maju. Kebudayaan pendatang tersebut bukan saja berasal dari luar negeri yang dibawa oleh wisatawan asing, melainkan juga dari dalam negeri yang dibawa oleh wisatawan dalam negeri maupun para pelajar dari berbagai daerah.
Menurut Soedjatmoko perkembangan modernisasi yang seperti itu membawa masalah tersendiri ketika masyarakat telah kehilangan nilai-nilai lama dan cara lama sementara nilai lama dan cara baru belum mencapai kristalisasinya. Hal ini akan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya krisis identitas kepribadian dalam diri masyarakat. [3]
Berkaitan dengan perkembangan modernisasi di dunia pariwisata di Indonesia, terutama dalam usaha perhotelan apabila tidak segera mendapat respon, besar kemungkinan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat indonesia sebagai umat Islam terbesar didunia yang selalu memegang teguh nilai-nilai agama, budaya. Masyarakat yang hanya mengandalkan sumber daya manusianya yang tinggi dalam meningkatkan perekonomiannya, dengan mengalirnya pengaruh luar baik kebudayaan asing yang tidak bercirikan keislaman, akan menimbulkan tranformasi budaya yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi-generasi yang multikultur. Hal ini dapat mengakibatkan masyarakat tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya.
Menurut Suyatno Kartodirdjo, ada empat masalah yang timbul sebagai akibat tranformasi budaya tersebut, yaitu masalah ketahanan budaya dan konflik nilai, masalah komersialisasi budaya, masalah materialisme dan konsumerisme, dan masalah konflik sosial. Hal ini akan mengakibatkan umat Islam tidak lagi peduli terhadap aturan hukum Islam, sehingga keberadaan Islam hanyalah sebagai lambang formalitas yang berada didalam masyarakat, pengetahuan masyarakat terhadap Islam hanya terbatas pada shalat, puasa, zakat dan haji, padahal Islam melebihi dari ibadah tersebut, Islam mengatur jalan hidup manusia menuju kepada kebenaran di segala bidang kehidupan.[4]
Oleh karena itu, Abu Zahrah dalam ushul fiqhnya menyatakan bahwa ada tiga tujuan disyariatkanya hukum Islam termasuk didalamnya hukum mu’amalah, yakni:
1. Penyucian jiwa
2. Upaya penegakan rasa keadilan dalam masyarakat secara umum
3. Mengimplementasikan nilai-nilai kemaslahatan dalam hidup manusia.[5]
1. Penyucian jiwa. Yang dimaksud disini adalah dengan adanya penegakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari, maka diharapkan setiap muslim bisa menjadi sumber inspirasi kebajikan –bukan sumber keburukan dan kehancuran- bagi masyarakat di lingkungannya. Seperti dengan adanya pendirian hotel berbasis syarî’ah, dapat dikatakan mampu membawa misi untuk membersihkan jiwa masyarakat baik secara kolektif maupun individual dari adanya fitnah, gharar, maksiat dan sebagainya sehingga mampu mewujudkan terciptanya ketertiban masyarakat, dan aspek-aspek kesetiakawanan sosial.
2. Upaya penegakan rasa keadilan dalam masyarakat secara umum. Maksudnya adalah dalam menegakkan hukum Islam harus mencerminkan nilai dan rasa keadilan yang menyangkut urusan di antara sesama kaum muslimin maupun dalam berhubungan dengan kelompok non muslim. Firman Allah SWT :
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (surat al-maidah: 8) Seperti dengan adanya pendirian hotel berbasis syarî’ah, dapat diharapkan mampu menciptakan rasa keadilan, sehingga tercipta suasana bisnis yang sehat, Islami dan dalam persaingan yang sehat juga. Hotel berbasis syarî’ah juga diharapkan mampu membawa aspek keadilan terhadap pengunjung, karyawan dan lingkungan sekitarnya. Sehingga masyarakat Indonesia akan memberikan apresiasi terhadap keberadaan hotel syarî’ah yang dimata masyarakat masih dianggap “asing”.
3. Mengimplementasikan nilai-nilai kemaslahatan dalam hidup manusia. Aspek terakhir ini merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai serta harus terdapat dalam setiap hukum Islam. Semua nash senantiasa mengandung nilai-nilai kemaslahatan yang haqiqi walaupun maslahat itu sendiri bagi sebagian orang sulit untuk mengenali dan mengetahuinya. Akan tetapi yang jelas bahwa maslahat itu adakalanya berupa sesuatu yang bisa menarik keuntungan atau manfaat dan adakalanya menolak bahaya yang mungkin timbul. Dalam kesempatan yang berbeda Abdul Wahhab Khallaf[6] berpendapat bahwa tujuan disyariatkannya hukum Islam, adalah demi tercapainya maslahat, Oleh sebab itu ketika terdapat maslahah maka di situlah ada hukum Allah SWT. Karena memelihara kebutuhan-kebutuhan yang pasti (dlaruri ) dan menghindarkan kesempitan adalah tujuan syariat , maka setiap perbuatan yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut bisa dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’ân.
Demikianlah kebenaran Islam telah terekspresikan dalam berbagai warna dan corak ungkapan sejalan dengan keniscayaan-keniscayaan bahasa, budaya, adat-kebiasaan para pemeluknya. Segala ekspresi dengan mengikuti kenisbian budaya adalah absah, sebab nyaris tak ada jalan lain kecuali begitu itu. Suatu pola adat tertentu, tidaklah dapat dipaksakan kepada masyarakat lain dari daerah lain. Masing-masing lingkungan budaya memiliki hak untuk mengembangkan inti kebenaran Islam menurut bentuk-bentuk kemestian kultural setempat. Masing-masing tetap memiliki kesempatan untuk memberi sumbangan kepada Islam dan peradabannya. Demikian halnya dengan kaum muslim Indonesia, selalu terbuka peluang lebar untuk secara kreatif dan produktif memberi kontribusi pada pengembangan budaya Islam.
Hotel Syarî’ah Sebagai Sebuah Tawaran
Seperti diuraikan diatas, bahwa dengan meningkatnya kunjungan wisatawan di Indonesia, maka tidak dapat dipungkiri terjadi peningkatan pendirian hotel-hotel sebagai pendukung pariwisata, maka tidak luput terdapat persaingan bisnis hotel semakin ketat, hal ini dapat dibuktikan dengan terus bermunculannya hotel-hotel baru, baik yang dikelola dengan manajemen lokal maupun international. Dan yang paling terpenting adalah pada awal pembukaannya selalu dibarengi dengan komitmen dan kebulatan tekad dari jajaran manajemen yang dengan penuh semangat disampaikan oleh manajernya. Melalui media promosi yang ada seluruh produknya diekspos, mulai layanan room service, fasilitas internet, spa, sampai dengan jasa penitipan anak.
Akan tetapi sangat disayangkan, dewasa ini hanya ada beberapa hotel yang berani mempromosikan sebagai hotel syarî’ah atau paling tidak bernuansa syarî’ah. Para pemilik atau manajemen hotel umumnya masih enggan di dalam menyikapi dan memosisikan diri untuk menjalankan visi dan misi bisnisnya. Mereka berdalih dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang bermacam-macam seperti, takut rugi dan bangkrut karena tidak marketable, balik modalnya menjadi tidak menentu, ataupun hotel menjadi tidak terkenal karena kurang “biasa”.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan hotel di Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan, kerap kali diberitakan di media massa tentang adanya penggerebekan yang dilakukan oleh jajaran kesatuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian Republik indonesia terhadap pengunjung hotel yang bukan suami istri, ada yang mabuk-mabukan dan sebagainya, akan tetapi pelaku tindakan tersebut tidak lagi merasa jera dikarenakan ada upaya “damai” dan hukuman yang ala kadarnya, seperti, tindakan administrasi, pemanggilan orang tua. [7]
Hotel syarî’ah adalah salah satu model hotel yang menawarkan fasilitas yang sesuai dengan nilai Islam, sehingga mampu meminimalisir adanya praktek perzinahan, minuman keras, pshycotropika, perjudian. Apabila hotel tegas dalam memberlakukan syarat-syarat tamu pengunjung, maka masyarakat juga akan berpikir ulang untuk melakukan yang melanggar pidana.
Hotel syarî’ah adalah salah satu tawaran yang menarik dalam rangka meningkatkan kualitas moral dan karakter bangsa Indonesia yang luhur. Nilai maqashid syarî’ah yang diusung dalam hotel ini adalah demi memberikan nilai kemashlahatan masyarakat dan untuk mencegah perbuatan maksiat.
Salah satu hotel yang berbasis syari’ah adalah PT. Sofyan Hotels Tbk., yang merupakan lembaga bisnis Syari’ah pertama yang mendapat Sertifikat Bisnis Syari’ah dari Dewan Syari’ah Nasional MUI No. 001/07/B/DSN/MUI/2003, tertanggal 26 Juli 2003/26 Jumadil Awal 1424H., yang dalam kegiatan operasionalnya terikat dengan ketentuan-ketentuan Syari’ah Islam. [8]
Tetapi sampai saat ini, standarisasi hotel Syarî’ah yang baku belum ada, dan belum pula dibuat oleh lembaga-lembaga keislaman yang terdapat di negeri ini, seperti MUI, Kementerian Agama, maupun oleh Ormas-ormas Islam. Akan tetapi sebenarnya bukan masalah yang sulit untuk membuat beberapa ketentuan dalam usaha perhotelan yang bersesuaian dengan kaidah Syarî’ah. Dikarenakan pada asalnya, usaha perhotelan adalah satu dari sekian banyak usaha yang mungkin dilakukan manusia, dan dalam kaidah Syarî’ah, hal itu tetap diperbolehkan, selama tidak ada dalil (nash) yang melarangnya secara tegas.[9]
Sedangkan ketentuan-ketentuan Syarî’ah yang berupa larangan yang harus dijauhi dalam hukum mu’amalah,[10] termasuk didalamnya usaha perhotelan adalah adanya sesuatu yang melanggar syarî’ah, membahayakan, penipuan, dan bersifat meragukan. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Dalam hotel syarî’ah, tidak memproduksi, memperdagangkan, menyediakan, atau menyewakan produk atau jasa yang secara keseluruhan maupun sebagiannya yang dilarang dalam ketentuan syarî’ah. Seperti, dalam hal penyediaan makanan mengandung unsur babi, minuman khamar, adanya perjudian, praktek perzinaan, dan sebagainya yang mengandung unsur najis dan diharamkan oleh syari’at.
2. Dalam hotel syarî’ah, tidak mengandung adanya unsur kedhaliman, membahayakan, kemungkaran, kemaksiatan maupun kesesatan yang terlarang dalam kaidah Syarî’ah, baik secara langsung maupun tidak langsung.
3. Dalam hotel syarî’ah, tidak ada pula unsur penipuan, kecurangan, kebohongan, ketidak-jelasan (gharar), resiko yang berlebihan dan membahayakan.
4. Dalam hotel syarî’ah, sebuah transaksi harus dilakukan berdasarkan jasa atau produk yang nyata, benar-benar ada. Tidak ada sesuatu yang bersifat meragukan yang dapat merusak keabsahan transaksi.
Permasalahan pokok yang kiranya perlu dicari jalan keluarnya adalah bagaimana kita mampu mengembangkan hotel syarî’ah di Indonesia yang bercirikan nilai keislaman. Dalam hal ini ada beberapa hal yang sekiranya dapat dipertimbangkan sebagai alternatif pengembangan bisnis perhotelan yang bercirikan nilai keislaman.
Pertama, pembangunan fisik hotel dengan memperhatikan identitas Islam. Sebagaimana diketahui, penduduk Indonesia merupakan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam rangka menciptakan lingkungan budaya yang Islami, fasilitas-fasilitas penunjang pariwisata seperti hotel, rumah makan, sebaiknya memperbanyak tulisan-tulisan hikmah dalam bentuk kaligrafi maupun lukisan yang dipasang di tembok hotel, rumah makan. Sedangkan adanya lukisan maupun hiasan yang berbau “pornografi” hendaknya dihilangkan.
Kedua, menghidupkan kembali keberadaan wisata budaya Islam di hotel syarî’ah. Wisata yang dimaksudkan di sini adalah penyajian dan pengenalan berbagai bentuk kebudayaan tradisional yang berbasis keislaman kepada para wisatawan. Bentuk-bentuk kebudayaan tradisional yang dimaksudkan adalah seperti, sekaten, grebeg suro, seni musik hadrah, tari saman aceh, seni kaligrafi arab. Bentuk-bentuk kebudayaan ini sebenarnya memiliki daya tarik tinggi tetapi karena jarang dipertunjukkan secara rutin, para wisatawan kadang-kadang kesulitan menyaksikannya. Dan apabila dikemas secara baik dalam bentuk festifal kebudayaan, maka akan menghasilkan dua keuntungan sekaligus. Pada satu sisi festifal tersebut memiliki nilai komersiil untuk pariwisata dan pada sisi lain memiliki nilai pelestarian kebudayaan. Pengunjung hotel akan merasa betah tinggal di hotel yang dikemas dengan nuansa Islami dan didukung dengan keberadaan kebudayaan lokal yang Islami.
Ketiga, perlu dicantumkannya pendidikan nilai Islami dalam kurikulum pendidikan perhotelan. Dengan banyaknya lembaga pendidikan yang bergerak pada segmen perhotelan makanya hendaknya memberikan pendidikan tentang hotel syarî’ah pada generasi muda. Sumber kemerosotan nilai dalam masyarakat sebenarnya bermula dari ketidaktahuan masyarakat akan pentingnya pendirian hotel syarî’ah sebagai pemeliharaan kemashlahatan bagi masyarakat. Akibat ketidaktahuan ini, banyak generasi muda justru mengikuti kebudayaan asing daripada memelihara kebudayaan sendiri. Sehingga, ketika mereka berhadapan dengan para wisatawan, yang dikedepankan adalah sikap dan perilaku yang meniru mereka, seperti berbicara dengan bahasa asing, berpakaian dengan gaya asing, dan bahkan berperilaku yang tidak sesuai dengan kebudayaan sendiri.
Slamet Sutrisna, mengatakan bahwa perubahan kebudayaan tidak hanya melibatkan sistem normatif tetapi juga melibatkan sistem kognitif.[11] Dan apabila dihubungkan dengan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, maka budaya keilmuan yang menyentuh nilai ajaran Islam seyogyanya harus mulai dikembangkan dengan baik. Karena dengan adanya pengembangan dan pelestarian lingkungan budaya Islami akan mendapatkan hasil yang positif bagi proses pendidikan untuk generasi penerusnya.
Dalam hal ini, ada beberapa permasalahan dalam kebudayaan yang Islami di Indonesia yang merupakan efek modernisasi juga dipengaruhi oleh mentalitas generasi mudanya. Generasi muda muslim lebih senang mempelajari kebudayaan-kebudayaan asing daripada kebudayaannya sendiri. Melalui pendidikan perhotelan yang Islami, dapat dilakukan perbaikan mentalitas generasi muda.
Keempat, pembentukan tim pemantau pengembangan hotel syarî’ah. Pada akhirnya, ketika kita dihadapkan pada penataan berbagai kepentingan, diperlukan adanya tim yang bertugas melakukan pemantauan atas pengembangan hotel syarî’ah di Indonesia. Tim pemantau ini bertugas untuk menciptakan keselarasan pendirian hotel syarî’ah yang mampu bersinergi dengan pariwisata di Indonesia, agar berbagai kepentingan dapat terakomodasikan tanpa ada yang dirugikan. Kepentingan adanya hotel syarî’ah dan kepentingan pariwisata akan merugikan jika harus mengorbankan satu sama lainnya. Karena menyangkut berbagai kepentingan, sebaiknya tim ini berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasuk di dalamnya para pelaku kebudayaan (ulama, budayawan dan para sesepuh). Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan lebih obyektif.
Apabila tim ini sudah terbentuk, maka dapat dipastikan akan membawa pengembangan diberbagai bisnis pariwisata terutama hotel syarî’ah akan lebih terarah dan tidak membuahkan korban sektor lain.
Penutup
Pengembangan hotel syarî’ah sebagai penunjang pariwisata di Indonesia yang tidak hanya berorientasi pada komersil dan selalu menjunjung tinggi nilai luhur agama dan adat tampaknya merupakan kebutuhan mendesak di Indonesia. Karena hal ini hars segera dilakukan sebelum terlanjur mengalami krisis kebudayaan akibat pengembangan pariwisata yang terlalu beroientasi pada bisnis semata. Dan sangat dibutuhkan kerja keras, intens dan kerelaan berbagai pihak untuk mengalah dan berpikir holistik agar tercapai pengembangan pariwisata yang Islami yang memiliki daya tahan tinggi di masa-masa mendatang.
Dan yang harus diperhatikan adalah keberadaan ketentuan-ketentuan Syarî’ah yang berupa larangan yang harus dijauhi dalam hukum mu’amalah, termasuk didalamnya usaha perhotelan adalah adanya sesuatu yang melanggar syarî’ah, membahayakan, penipuan, dan bersifat meragukan. Dan demi mewujudkan pariwisata yang Islami, maka harus ada pengembangan berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia termasuk pengembangan sektor pariwisata membawa pengaruh cukup besar dalam diri masyarakat. Berkaitan dengan perkembangan modernisasi di dunia pariwisata di Indonesia, terutama dalam usaha perhotelan apabila tidak segera mendapat respon, besar kemungkinan terjadi krisis identitas dalam diri masyarakat indonesia sebagai umat Islam terbesar didunia yang selalu memegang teguh nilai-nilai agama, budaya.
Jadi dapat disimpulkan, ada tiga langkah yang dapat dilakukan untuk langkah pengembangan hotel syarî’ah, yaitu :
a. Memulai kesiapan sikap diri senantiasa selalu berpegang teguh pada syarî’ah dan bersih dari segala penyimpangan yang harus dilakukan oleh pemilik hotel, pegawai dan masyarakat.
b. Menyebarkan iklan promosi hotel syarî’ah melalui media elektronik dan cetak dengan intensitas waktu sambil berbenah demi pengembangan hotel syarî’ah, sehingga mampu memperkenalkan keberadaan hotel ini sebagai hotel yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat. Dengan keterbatasan informasi, maka akan membatasi calon wisatawan yang ingin mendapatkan hotel berbasis syarî’ah.
c. Membangun instrument hukum yang kuat, aparat penyidik yang bersih, amanah dan kuat dalam hal ini pihak kepolisian, jaksa selaku penuntut umum, dan Hakim yang adil dan kuat. Kerjasama yang dilakukan oleh pemilik hotel, aparat hukum dan masyarakat akan membawa menuju pariwisata yang Islami.
[1] http://www.budpar.go.id/filedata/5436_1695-Rankingdevisa.pdf , (diakses tanggal 10 Oktober 2010)
[2] http://www.gatra.com/artikel.php?id=140413 (diakses tanggal 10 Oktober-2010)
[3] Soedjatmoko, Etika Pembebasan (Jakarta : LP3ES, 1988), hlm. 44.
[4] Kartodirdjo, Suyatno, Tranformasi Budaya dalam Pembangunan dalam Tantangan Kemanusiaan Universal (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 145.
[5] Abu Zahrah, Ushul Fiqih Edisi terjemahan Saifullah Ma’shum dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 29.
[6] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Hadîts, 2002), hlm. 229.
[7] http://indopolisiwatch.blogspot.com/2010_02_14_archive.html, (diakses tanggal 11 Oktober-2010)
[8] http://mentoringku.wordpress.com/2008/10/27/hotel-dengan-kaidah-syariah/ , (diakses tanggal 13 Oktober-2010)
[9] Sesuai dengan kaidah yang menyatakan: “Hukum asal dalam muamalah adalah boleh, selama tidak ada dalil yan mengharamkannya.” Lihat: Muslich Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum Islam: Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 119.
[10] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, hlm. 236.
[11] Slamet Sutrisna, Budaya Keilmuan dan Situasinya di Indonesia dalam Tantangan Kemanusiaan Universal (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm.147.