Jumat, 11 Februari 2011

KAIDAH AL-YAQIN LA YAZULU BI ASY-SYAKKI

Pendahuluan

Alhamdulillah semoga Alloh SWT selalu memberikan kepada kita hidayah dan Taufiq-Nya. Amin. Shalawat dan salam semoga terlimpah pada rasulullah Saw.

Dalam hal ini penulis akan menguraikan kaidah alyaqin la yuzalu bisyakki. Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.

Rasulullah SAW bersabda: الحلال بين والحرام بين ، وبينهما مشبهات لا يعلمها كثير من الناس

Artinya: “sesuatu yang halal dan haram telah jelas (hukumnya) dan diantara keduanya ada masalah-masalah mutasyabihat (yang tidak jelas hukumnya) yang mayoritas orang tidak mengetahui hukumnya”.[1] Alloh SWT telah memberikan kemudahan yang luar biasa kepada umat Islam dalam rangka menjalankan kehidupan sehari-harinya. Alloh SWT berfirman:

Artinya; “tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. [2]

Pada umumnya pembahasan Qowaid Fiqiyah berdasarkan pembagian kaidah-kaidah asasiyah dan kaidah-kaidah ghoiru asasiyah. Kaidah asasiyah adalah kaidah yang disepakati oleh imam-imam azhah tanpa diperselisihkan kekuatannya disebut juga sebagai kaidah-kaidah induk karena hampir setiap bab dalam Fiqih masuk dalam kelompok kaidah induk ini. Adapun jumlah kaidah asasiyah hanya 5 macam yaitu:

  1. Segala sesuatu tergantung kepada tujuannya. الأمور بمقاصدها
  2. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan adanya keraguan. اليقين لا يزول بالشك
  3. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan. المشقة تجلب التيسير
  4. Kemadharatan itu harus dihilangkan. الضرر يزال
  5. Kebiasaan itu dapat dijadikan hukum. العادة محكمة

Dari kelima kaidah diatas penulis akan mencoba untuk membahas kaidah Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk. Imam As-Suyuthi menyatakan: “kaidah ini mencakup semua pembahasan dalam Fiqih, dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya mencapai ¾ dari subyek pembahasan fiqih”.[3] Imam Al-Qarafi menambahkan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.[4]

Kemudian Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.[5] Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya.[6] Termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah.

Disini penulis akan membahas masalah dengan poin-poin sebagai berikut:

  1. Pengertian kaidah.
  2. Syarat Penerapan kaidah ini.
  3. Dalil-dalil yang mendukung adanya kaidah ini.
  4. Aplikasi kaidah.

Pertama: Pengertian Kaidah

Al-Yaqin.

1. Menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. [7] Ulama sepakat dalam mengartikan Al-Yaqin yang artinya pengetahuan dan merupakan anonim dari Asy-Syakk.

2. Menurut istilah:

a. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah ”meyakini sesuatu bahwasanya ”begini” dengan berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan ”begini” cocok dengan realita yang ada, tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya”. [8]

b. Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah ”pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu yang tidak bersifat pasti”. [9]

c. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah ”sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”. [10]

Asy-Syakk

1. Menurut kebahasaan berarti: anonim dari Al-Yaqin. Juga bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.[11]


2. Menurut istilah:

a. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara ada atau tidak ada”.[12]

b. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah ”sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”. [13]

Dari uraian diatas maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa sesuatu yang bersifat tetap dan pasti tidak dapat dihapus kedudukannya oleh keraguan. Sebagai penjelasan lebih lanjut الأصل براءة الذمة (hukum asal sesuatu itu adalah terbebas seseorang dari beban tanggung jawab) sehingga al-yaqin bukan termasuk sesuatu yang terbebankan. Dan apabila ada sebuah dalil yang memberikan pembebanan kepada al-yaqin, maka harus sesuai dengan sendi agama. Contoh: hukum asal air adalah suci, baik air hujan, sungai, laut, sumber, danau. Hukum asal air telah pasti suci dan tidak ada sesuatu yang meragukan hukum asal air tersebut. Contoh lain: الأصل في الكلام الحقيقة (hukum asal pada suatu kalimat adalah makna hakekat (kenyataan)-nya, artinya sesuatu yang pasti dalam dalalah al-alfadz digunakan dari segi maknanya yang tersurat, sampai datang dalil yang menjelaskannya kemudian.

Hukum yang bersifat tetap dan pasti harus ditetapkan dan berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut tidak boleh saling bertentangan.contoh: apabila sesorang memiliki harta yang diperolehnya melalui jual beli, warisan atau sebab lain dengan cara yang halal dan benar maka hukumnya menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak bisa berpindah tangan kecuali ada bukti lain yang datang kemudian. Karena hak milik tersebut berpedoman pada sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal tersebut bersifat tetap dan pasti, dan tidak bisa dihapus oleh keraguan yang tidak didasari dengan alat bukti yang kuat.

Kedua: Syarat Penerapan kaidah ini

Dalam mengamalkan kaidah ini harus bisa memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Bergabungnya dua unsur yang meyakinkan dan yang meragukan harus mempunyai kaitan. Maksudnya adalah sesuatu yang berkaitan dengan masalah Al-Yaqin juga

harus mempunyai kaitan dengan masalah Asy-Syakk.

2. Adanya perbedaan waktu terjadinya Al-Yaqin dan Asy-Syakk dalam satu waktu. Dengan mendahulukan waktu terjadinya Al-Yaqin dari waktu terjadinya Asy-Syakk. Hal itu digunakan untuk meniadakan penghilangan Al-Yaqin dari Asy-Syakk. Karena tidak mungkin berkumpul Al-Yaqin dan Asy-Syakk dalam satu waktu.

3. Al-Yaqin dan Asy-Syakk terjadi dalam satu waktu. Maksudnya adalah menyepakati sampainya Al-Yaqin dan Asy-Syakk dalam satu tempat. Tetapi tidak bisa bermakna permulaan terjadinya dua hal tersebut dalam satu waktu, karena hal tersebut mustahil terjadi.

4. Sampainya waktu Asy-Syakk dengan waktu Al-Yaqin. Maksudnya adalah tidak ada pemisah antara keduanya yang menyelubung dengan Al-Yaqin yang lain. Karena masuknya Al-Yaqin pertama tidak bisa membatalkan Al-Yaqin yang kedua.

5. kondisi Asy-syakk dan Al-Yaqin. Maksudnya adalah harus ada kejelasan antara Asy-syakk dan Al-Yaqin secara nyata. Asy-Syakk dan Al-Yaqin tidak bisa melalui model perkiraan.

6. Adanya pengaruh langsung dalam menjalankan kaidah ini. Maksudnya adalah adanya sifat tetap pada hukum yang pasti pada saat terjadi keraguan.

7. Tidak bertentangan diantara dua keyakinan. Apabila terjadi pertentangan maka harus dipilih melalui methode tarjih. [14]

Ketiga: Dalil-dalil yang mendukung adanya kaidah ini

1. Firman Alloh SWT:

Artinya: “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.[15] Seperti menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan apa-apa yang telah Dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak.

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan”. [16]

Artinya: “Ingatlah, Sesungguhnya kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. dan orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu keyakinan). mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga”. [17]

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”. [18]

Artinya: “Dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”. [19]


2. Hadits Rasulullah SAW:

حديث عباد بن تميم عن عمه أنه شكا إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم الرجل الذي يخيل إليه أنه يجد الشيء في الصلاة فقال ( ثم لا ينفتل أو لا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا )

Artinya: “Hadits Ibad Bin Tamim dari pamannya yang mengadu kepada Rasulullah SAW bahwa ada seseorang telah mendapatkan sesuatu saat melakukan shalat. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: “dia tidak boleh shalat atau juga tidak boleh membatalkan shalatnya sampai dia mendengar suara atau mendapatkan bau (kentut)”. [20]

حديث أبي سعيد الخدري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( ثم إذا شك أحدكم في صلاته فليلق الشك وليبن على اليقين فإذا استيقن التمام سجد سجدتين فإن كانت صلاته تامة كانت الركعة نافلة والسجدتان وإن كانت ناقصة كانت الركعة تماما لصلاته وكانت السجدتان مرغمتي الشيطان )

Artinya: “Hadits Abi Said Al-Khudri berkata, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “jika salah seorang dari kamu ragu dalam shalatnya maka buanglah keragu-raguan dan condongkan kepada kepastian, apabila telah yakin shalatnya sempurna maka segeralah melakukan sujud (sahwi) dua kali, maka jika shalatnya sempurna rakaat yang diulangnya tadi dan dua kali sujud yang dilakukaknnya terhitung sebagai sunnah, akan tetapi jika rakaat shalatnya kurang maka rakaat yang belum dilakukannya terhitung sempurna shalatnya, dan dua kali sujud yang dilakukannya tadi untuk menjauhkan dari godaan setan”. [21]

حديث أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ( ثم إذا وجد أحدكم في بطنه شيئا فأشكل عليه أخرج منه شيء أم لا فلا يخرجن من المسجد حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا )

Artinya: “Hadits Abi Hurairah berkata: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “apabila seorang dari kamu mendapatkan sesuatu didalam perutnya, kemudian ragu apakah telah keluar sesuatu dari perutnya ataukah belum, maka janganlah keluar dari masjid (membatalkan shalatnya) sampai dia mendengar suara atau mendapatkan bau (kentut)”. [22]

Imam An-Nawawi berkomentar terhadap hadits diatas: “hadits ini adalah pokok dari syariat Islam, sebuah pondasi kuat dari tegaknya kaidah-kaidah fiqih. Maksudnya adalah segala sesuatu diberi beban hukum atas dasar keberlangsungannya dengan menggunakan pokok-pokok ajaran Islam secara yakin dan pasti serta tidak ada keraguan yang mengganggu pikirannya. Dari hadits diatas tersurat adanya seseorang yang yakin dia dalam keadaan suci akan tetapi terdetik dalam hatinya keraguan dia ber”hadats”, maka yang diunggulkan adalah dia masih dalam keadaan bersuci sampai datang bukti yang menyebutkan dia sudah ber”hadats”. [23]

3. Ijma’

Ulama telah bersepakat tentang adanya pengamalan kaidah اليقين لا يزول بالشك ini. Imam Al-Qarafi menyatakan: “dalam kaidah ini seluruh ulama sudah bersepakat dalam mengamalkannya dan kita harus selalu mempelajarinya”.[24]

Imam Daqiq Al-‘Id mengisyaratkan kepada setiap umat Islam untuk mengerjakan sesuatu yang sudah pasti dan membuang keragu-raguan, sehingga seakan-akan ulama telah sepakat tentang keberadaan kaidah, akan tetapi mereka tidak bersepakat dalam prosedur tata laksana kaidah ini”.[25]

Imam Abu Bakar As-Sarkhasi menyatakan: “berpegang teguh pada sesuatu yang pasti dan tetap dan meninggalkan keragu-raguan merupakan pokok ajaran syariat Islam”. [26]

4. Dalil ‘Aqli

Sudah dipastikan bahwa sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti selalu bersifat tetap dan dapat dibuktikan dengan menggunakan alat bukti yang sah, dan sesuatu yang meragukan selali bersifat membingungkan dan penuh dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dikemudian hari. Syaikh Musthafa Az-Zarqa menyatakan: “sesuatu yang pasti itu lebih kuat kedudukannya daripada sesuatu yang meragukan dan membingungkan, karena sesuatu yang pasti itu mempunyai kedudukan hukum yang kuat dan bersifat pasti, dan jika ada keragu-raguan yang tiba-tiba datang maka tidak bisa menghapus hukum yang bersifat psti tersebut”. [27]


Keempat: Aplikasi Kaidah

Dalam kaidah ini masuk berbagai permasalahan hukum dalam hal ibadah, muamalah dan akad. Dibawah ini adalah sebagian kecil dari contoh aplikasi dari kaidah اليقين لا يزول بالشك yaitu:

1. Jika ragu tentang kedudukan air, apakah suci atau najis, maka harus diteliti air tersebut dengan benar sehingga dapat diketahui kesuciannya atau kenajisannya. [28]

2. Jika ragu saat menjalankan shalat tidak berjamaah, ragu apakah sudah empat rakaat atau masih tiga rakaat, maka harus meyakini salah satunya. Karena hukum asal dari pelaksanaan shalat adalah tetap dalam tanggungannya. Apabila seseorang menjadi imam maka harus menggunakan prasangkaannya dengan benar saat makmum mengingatkannya, hal ini bertentangan dengan hukum asal yang menampakkan peringatan dari makmum adalah benar. Imam Asy-Syafi’i dan Imam Malik menyatakan: “seorang imam shalat harus menggunakan keyakinannya dengan benar secara mutlak”. [29]

3. Jika seseorang membeli baju baru, kemudian dia ragu apakah baju ini suci atau najis, maka harus diunggulkan kesucian baju ini, dan tidak perlu menyucinya saat akan melakukan shalat. [30]

4. Jika ragu seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dan lama tidak pulang kerumahnya tanpa ada kabar sama sekali, maka ahli waris tidak boleh membagikan harta warisannya. Karena hukum asal dari seseorang itu harus diyakini masih hidup, sampai datang alat bukti yang menyatakan dia sudah meninggal dunia. [31]

5. Jika ragu apakah seorang perempuan itu sudah keluar dari masa iddah dalam masalah perceraiannya, maka ditetapkan bahwa dia masih masuk dalam masa iddah. [32]

6. Dan lain sebagainya

Demikian makalah ini disajikan, semoga mendapatkan barakah ilmu dan bisa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya. Surabaya: PT Mahkota, 2004 M.

Abu Al-Baqa’, Ayyub bin Musa, Al-Kafawi. Al-Kulliyat. Suriah: wizarah Ats-Tsaqafah, 1981 M.

Abu Dawud, Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abi Dawud. Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Ahmad bin Abd Al-Halim bin Taymiyah Al-Harani Abu Al-Abbas. Syarh Al-‘Umdah fi Al-Fiqh. Riyadh: Dar Al-Abikan, 1413 H.

Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad. Kairo: Dar Al-Ma’arif, 1394 H.

Ab Husain, Ya’qub Abdulwahhab. Kaidah Al-Yaqin La Yazulu Bi Asy-Syakk. Riyadh: Maktabah Ar-Rasyd, t.th.

Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah. Shahih Bukhari. Beirut: Dar Ibn Katsir, 1407 H.

Al-Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali. At-Ta’rifaat. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Arabi, 1405 H.

Al-Maqarri, Ahmad bin Muhammad bin Ali. Al-Mishbah Al-Munir. Beirut: Al-Maktabah Al-Ilmiyah, t.th.

Al-Qarafi, Ahmad bin Idris bin Abdurrahman Ash-Shonhaji, Syihabuddin. Al-Furuq, Beirut: ‘Alim A,-Kutub, t.th.

An-Nadawi, Ali Ahmad. Qawaid Fiqhiyyah. Damaskus: Dar Al-Qalam, t.th.

An-Nawawi, Yahya bin Syarf, Abu Zakariya. Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, 1392 H.

As-Sa’di. Abdurrahman bin Nashir. Al-Qawaid wa Al-Ushul Al-Jami’ah wa Al-Furuq Qawaid wa Al-Ushul Al-Jami’ah. Anizah: Markaz bin Shalih, 1411 H.

As-Sarkhasi, Muhammad bin Ahmad Abu Bakar. Usul As-Sarkhasi. Beirut: Dar Al-Ma’rifat, 1393 H.

As-Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al-Asybah Wa An-Nadzair fi qawaid wa furu’ fiqh Asy-Syafi’iyyah, Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, t.th.

At-Tirmidzi, Muhammad bin Isa, Abu Isa. Sunan At-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, t.th.

Daqiq Al-‘Id, Muhammad bin Ali bin wahab Al-qusyairi. Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam. Kairo: al-Muniriyah, t.th.

Ibn Majah, Muhammad bin Yazid, abu Abdullah. Sunan Ibn Majah. Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Ibn Mandzur, Muhammad bin Mukarrim. Lisan Al-Arab. Beirut: Dar Shadr, t.th.

Ibn Nujaim, Zainuddin bin Ibrahim. Al-Asybah Wa An-Nadzair, Beirut: Dar Al-Fikr, t.th.

Muhammad bin Abi Bakar Ayyub Az-Zara’i Abu Abdullah, Badai’ Al-Fawaid. Mekah: Maktabah Nizar Musthafa Al-Baz, 1416 H.

Muslim, Abu Al-Husain. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, t.th.

Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am. Damaskus: Dar Al-Qalam, t.th.



[1] Hadist riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1 hal. 28. Imam Muslim,Shahih Muslim, juz 3 hal. 1221. Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 3 hal. 511. Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 2 hal. 1318. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 4 hal. 269

[2] Surat At-Taubah: 122.

[3] As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 55.

[4] Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111.

[5] Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78.

[6] An-Nadawi, Qawaid Fiqhiyyah, hal. 354.

[7] Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 13 hal. 457. Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 332.

[8] Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 322.

[9] Abu Al-Baqa’, Al-Kulliyat, juz 5 hal. 116.

[10] As-Suyuthi, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal. 58.

[11] Ibn Mandzur, Lisan Al-Arab, juz 10 hal. 451. Ibn Nujaim, Al-Asybah Wa An-Nadzair, hal 82.

[12] Al-Maqarri, Al-Mishbah Al-Munir, juz 1 hal. 320.

[13] Al-Jurjani, At-Ta’rifaat, hal 168.

[14] Ab Husain, Kaidah Al-Yaqin La Yazulu Bi Asy-Syakki, hal 55.

[15] Surat Al-An’am: 116.

[16] Surat Yunus: 36.

[17] Surat Yunus: 66.

[18] Surat Al-Hujurat: 12.

[19] Surat An-Najm: 28.

[20] Hadist riwayat Imam Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1 hal. 64. Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal. 276. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 45.

[21] Hadist riwayat Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal. 400. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 269. Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, juz 1 hal. 382. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 3 hal. 83.

[22] Imam Muslim, Shahih Muslim, juz 1 hal. 276. Imam At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 1 hal. 109. Imam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, juz 1 hal. 45. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 414.

[23] Imam An-Nawawi, Syarh An-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, juz 2 hal. 414.

[24] Al-Qarafi, Al-Furuq, juz 1 hal. 111.

[25] Daqiq Al-‘Id, Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘umdat Al-Ahkam, juz 1 hal. 78.

[26] As-Sarkhasi, Usul As-Sarkhasi, juz 2 hal. 116.

[27] Musthafa Ahmad Az-Zarqa, Al-madkhal Al-Fiqh Al-‘Am, juz 2 hal. 981.

[28] Ahmad bin Abd Al-Halim bin Taymiyah Al-Harani Abu Al-Abbas, Syarh Al-‘Umdah fi Al-Fiqh, juz 1 hal. 83.

[30] Muhammad bin Abi Bakar Ayyub Az-Zara’i Abu Abdullah, Badai’ Al-Fawaid, juz 3 hal. 779.

[31] Ahmad bin Abd Al-Halim bin Taymiyah Al-Harani Abu Al-Abbas, Syarh Al-‘Umdah fi Al-Fiqh, juz 1 hal. 84.

[32] As-Sa’di, Al-Qawaid wa Al-Ushul Al-Jami’ah wa Al-Furuq Qawaid wa Al-Ushul Al-Jami’ah, hal. 46.

ISTISHHÂB SEBAGAI METODE ISTINBÂTH HUKUM DALAM ILMU USHUL FIQIH

Pengertian Istishhâb

Pertama: secara etimology istishhâb berasal dari bahasa Arab dari kata shahaba yang berarti mengikut sertakan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya.[1]

Kedua: secara terminology istishhâb adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, atau meniadakan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah tidak berlaku sebelumnya.[2]

Dari pengertian diatas hal ini menunjukkan bahwa istishhâb merupakan penetapan hukum suatu perkara di masa sekarang ataupun mendatang berdasarkan apa yang telah ditetapkan atau berlaku sebelumnya.

Contoh sederhananya adalah tatkala kita menetapkan bahwa si X adalah pemilik rumah mobil –baik kepemilikannya itu terjadi melalui proses jual-beli atau pewarisan-, maka selama kita tidak menemukan ada dalil atau bukti yang mengubah kepemilikan tersebut, kita tetap berkeyakinan dan menetapkan bahwa si X adalah pemilik rumah atau mobil tersebut hingga sekarang atau nanti. Dengan demikian dalam proses istishhâb ini melanjutkan pemberlakuan hukum di masa sebelumnya hingga ke masa kini atau nanti.

Contoh kedua adalah Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishhâb.

Macam-macam Istishhâb

Para ulama menyebutkan ada beberapa macam istishhâb, yaitu:

1. Istishhâb al-Bara’ah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu. Seperti peniadaan kewajiban shalat wajib keenam. Karena apabila ada yang menetapkan kewajiban shalat wajib selain shalat wajib kelima (shubuh, zhuhur, ashar, maghrib dan ‘isya) maka harus ditolak. [3] Karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu.

Demikian juga jika ada seseorang yang menuduh bahwa orang lain berhutang padanya, sementara ia tidak bisa mendatangkan bukti terhadap tuduhan itu, maka orang yang tertuduh dalam hal ini tetap berada dalam posisi bebas dari hutang atas dasar al-Bara’ah al-Ashliyah ini.

2. Istishhâb berdasarkan dalil syar’î, yakni proses istishhâb dengan menggunakan keumuman nash al-Qur’ân maupun al-Sunnah dan menolak mengkhususkannya, dan juga istishhâb yang menggunakan nash dan menolak menghapuskannya. Dan menurut kesepakatan ulama bahwa adanya keharusan untuk menggunakan keumuman nash.[4]

3. Istishhâb terhadap ketetapan dan keberlangsungan hukum yang telah ditunjukkan syara’ karena adanya sebab yang menetapkannya sampai datang dalil atau bukti yang memperselisihkannya. Seperti keberlangsungan kepemilikan si X setelah melalui penetapan sebab jual beli misalnya, sehingga datang orang lain yang menghapus kepemilikannya sebab hibah, warisan dan sebagainya. Dan keberadaan istishhâb ini benar adanya. [5]

4. Istishhâb hukum yang ditetapkan oleh ijma’ pada saat berhadapan dengan masalah yang masih diperselisihkan. [6]

Salah satu contohnya adalah bahwa para ulama telah berijma’ akan batalnya shalat seorang yang bertayammum karena tidak menemukan air saat ia menemukan air sebelum shalatnya. Adapun jika ia melihat air pada saat sedang mengerjakan shalatnya; apakah shalatnya juga batal atas dasar istishhâb dengan ijma’ tersebut, atau shalat tetap sah dan ia boleh tetap melanjutkannya?

Imam Abu Hanifah dan beberapa ulama lain –seperti al-Ghazaly dan Ibnu Qudamah- berpendapat bahwa dalam masalah ini istishhâb dengan ijma’ terdahulu tidak dapat dijadikan landasan, karena berbedanya kondisi yang disebutkan dalam ijma’. Oleh sebab itu, ia harus berwudhu kembali.

Sementara Imam al-Syafi’i dan Abu Tsaur berpendapat bahwa istishhâb ijma’ ini dapat dijadikan sebagai hujjah hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Oleh sebab itu, shalatnya tetap sah atas dasar istishhâb kondsi awalnya yaitu ketiadaan air untuk berwudhu.[7]

Kedudukan Istishhâb

Penggunaan istishhâb sebagai proses istinbâth hukum menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Berikut ini adalah kedudukan istishhâb:

Pendapat pertama, menurut ulama Mâlikiyah, Hanâbilah, mayoritas ulama Syafî’iyah dan sebagian Hanafiyah bahwa istishhâb dianggap sebagai proses istinbâth hukum dan merupakan hujjah (dalil). [8] Dasar hukumnya adalah:

Pertama: Firman Allah SWT.

Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaKu, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena Sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam Keadaan terpaksa, sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. [9]

Dalam yat ini menunjukkan bahwa prinsip asalnya segala sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan pengharamannya. Hal ini ditunjukkan dengan Firman Allah: “Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Aku tidak menemukan...” . Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan baru, maka ketentuan lama-lah yang berlaku. [10]

Kedua: Hadits Rasulullah SAW.

لا ينصرف حتى يسمع صوتا أو يجد ريحا

Artinya: “janganlah dia meninggalkan shalatnya hingga dia mendengarkan suara atau mencium bau.[11]

Dalam hadits ini, Rasulullah SAW memberi kepada kita untuk tetap memberlakukan kondisi awal kita pada saat mulai mengerjakan shalat (yaitu dalam keadaan suci) meskipun ada keraguan bahwa wudhu’nya telah batal. Dan Rasulullah melarang untuk meninggalkan shalat sehingga kita menemukan bukti bahwa wudhu’nya telah batal, yaitu mendengar suara atau mencium bau.

Ketiga: Ijma’.

Ada beberapa masalah fiqih yang telah ditetapkan melalui ijma’ atas dasar istishhâb. Diantaranya adalah bahwa para ulama telah berijma’ bahwa jika seseorang ragu apakah ia sudah bersuci, maka ia tidak boleh melakukan shalat, karena dalam kondisi seperti ini ia harus merujuk pada hukum asal bahwa ia belum bersuci. Ini berbeda jika ragu apakah wudhu’nya sudah batal atau belum, maka dalam kasus ini ia harus berpegang pada keadaan sebelumnya bahwa ia telah bersuci dan kesucian itu belum batal. [12]

Pendapat kedua, menurut mayoritas ulama Hanafiyah bahwa istishhâb tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara mutlak, baik dalam menetapkan hukum ataupun menafikannya. [13] Alasannya adalah:

1. Menggunakan istishhâb berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil. Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil. Maka itu berarti bahwa istishhâb adalah sesuatu yang batil.

2. Istishhâb akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan apapun yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhâb, maka yang lain pun bisa saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhâb pula. [14]

Dengan melihat dalil-dalil yang disampaikan oleh kedua belah pihak ini, terlihat bahwa dalil yang disampaikan oleh pihak pertama jauh lebih kuat dari pendapat lainnya, yakni bahwa jika tidak ada suatu bukti atau dalil yang mengubah hukum atau label pada sesuatu menjadi hukum lain, maka yang berlaku dalam pandangan mereka adalah tetap hukum yang pertama.

Para fuqaha pun bersepakat tentang adanya kaidah al-yaqîn la yazûlu bi al-syakk dan kaidah inilah yang sesungguhnya menjadi salah satu landasan kuat istishhâb ini. Itulah sebabnya, hakin dalam pengadilan memberlakukan prinsip yang sama dalam keputusan peradilan mereka. Dalam hubungan suami-istri misalnya, jika tidak ada bukti bahwa hubungan itu telah putus, maka sang qadhi tetap memutuskan berlakunya hubungan itu seperti yang telah ada sebelumnya.[15]

Maka dapat diperoleh pengertian secara jelas bahwa hukum yang bersifat tetap dan pasti harus ditetapkan dan berpedoman dengan dalil, dan dalil yang ada tersebut tidak boleh saling bertentangan.contoh: apabila sesorang memiliki harta yang diperolehnya melalui jual beli, warisan atau sebab lain dengan cara yang halal dan benar maka hukumnya menjadi hak milik penuh dan harta tersebut tidak bisa berpindah tangan kecuali ada bukti lain yang datang kemudian. Karena hak milik tersebut berpedoman pada sebab-sebab pemerolehannya secara benar dan halal, maka hal tersebut bersifat tetap dan pasti, dan tidak bisa dihapus oleh keraguan yang tidak didasari dengan alat bukti yang kuat.

Syarat Istishhâb dalam Istinbâth Hukum

Ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam menerapkan istishhâb ini sebagai dalil yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menghadapi permasalahan hukum adalah dengan cara mencari dengan teliti dalil-dalil yang saling berseberangan, sehingga dapat menjadi dalil-dalil yang bersifat qathî maupun zhannî. [16] Dengan demikian penerapan istishhâb ini pada akhirnya akan menjadi dalil-dalil yang qathî ataupun zhannî.

Pertama: Penerapan istishhâb sebagai dalil qathî, yakni jika ada dalil yang bersifat qathî dengan meniadakan dalil yang saling berseberangan, seperti peniadaan shalat wajib keenam.

Kedua: Penerapan istishhâb sebagai dalil zhannî, yakni jika ada dalil yang bersifat zhannî yang meniadakan dalil yang saling bersebarangan. Maksudnya adalah jika ada dalil yang berseberangan yang diketahui dan disangka ketetapannya maka diunggulkan dengan cara melalui proses istinbâth hukum istishhâb.[17]

Ketiga: Meninggalkan penerapan istishhâb sebagai dalil qathî jika diketahui ada dalil yang saling berseberangan. Seperti kewajiban puasa ramadhan.

Keempat: Meninggalkan penerapan istishhâb sebagai dalil zhannî jika disangka ada dalil yang saling bersebarangan.

Tetapi harus diketahui bahwa ada hal-hal yang perlu untuk diperhatikan:

1. Istishhâb merupakan alternatif terakhir dalam berijtihad, hal ini digunakan agar dapat berlindung dari peniadaan penggunaan dalil-dalil dari al-Qur’ân, al-sunnah, ijmâ’ dan qiyâs. Dan jika meniadakan dalil-dalil ini tatkala tidak menjumpai dalil atas hukum yang terjadi maka proses istishhâb harus berlangsung demi kepastian hukum. Sehingga istishhâb adalah paling lemahnya dalil. [18]

2. Istishhâb terkadang bersesuaian dengan dalil yang bersifat khusus lalu menjadi penguat dan pengokoh, dan kadang istishhâb tidak bersesuaian dengan dalil yang lain tetapi menjadi sandaran bagi peniadaan dalil yang saling bersebarangan.[19]

3. Penerapan istishhâb harus berdasarkan atas peniadaan dalil yang berseberangan dan harus berhati-hati dalam menerapkannya. Seperti meluaskan proses istishhâb yang sudah dijelaskan oleh nash, mayoritas ulama yang meluaskan proses istishhâb ini sudah memahami nash yang ada. Sehingga mereka tidak menghiraukan adanya isyarat, tanda-tanda, tetapi tatkala tidak memahami nash maka mereka meniadakannya dan menerapkan proses istishhâb ini.[20]

Kaidah-kaidah yang Dibangun Atas Dasar Istishhâb

Dibawah ini ada beberapa contoh kaidah fiqhiyyah yang dibangun dari proses istishhâb:

1. Kaidah اليقين لا يزال بالشك (al-yaqîn la yazûlu bi al-syakk) [21], artinya: “sesuatu yang yakin keberadaannya tidak dapat dihilangkan dengan adanya sesuatu yang meragukan”. Dan kaidah ini termasuk dalam lima kaidah yang utama dan meliputi permasalah fiqhiyyah.

2. Kaidah الأصل بقاء ما كان على ما كان (al-ashl baqâu mâ kâna alâ mâ kâna),[22] artinya: “hukum yang terkuat adalah tetapnya apa yang telah ada atas apa yang telah ada”. Maksudnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau sampai datang ketentuan hukum lain yang merubahnya.

3. Kaidah الأصل براءة الذمة (al-ashl barâah al-dzimmah),[23] artinya: “hukum yang terkuat adalah terbebasnya seseorang dari adanya tanggung jawab”.

4. Kaidah الأصل العدم (al-ashl al-‘adam),[24] artinya: “hukum yang terkuat (tatkala terjadi perselisihan) adalah tidak adanya sesuatu”.

Penutup

Demikianlah uraian singkat tentang kedudukan istishhâb secara umum sebagai salah satu pijakan dan metode penggalian dan penyimpulan hukum dalam Islam. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa istishhâb sebenarnya dapat digunakan sebagai landasan hukum. Meskipun dalam beberapa bentuk istishhâb terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Namun hal itu tidak menafikan kedudukan argumentatif istishhâb dalam Fikih Islam.

Daftar Pustaka

Departemen Agama RI. Al-Qur’ân dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004.

Bukhâri, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahîh Bukhari Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407

Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz, Syarh al-Kaukâb al-Munîr Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.

Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn Beirut: Dâr al-Jail, tt.

Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisân al-‘Arab Beirut: Dâr Shadr, tt.

Ibn Qudâmah, Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir Riyadh: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399

Ibn Taimiyyah Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatâwa Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404

Muhammad Amir Badsyah, Taisir al-Tahrir Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

Muslim, Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahîh Muslim Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996

Qurthûbi, Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.

Suyûthî, Jalâluddîn Abdurrahmân al-, Al-Asybâh wa al-Nazhâir fî Qawâ’id wa Furû’ Fiqh al-Syafî’iyyah Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.

Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar Kairo: Dâr al-Kitab al-Jami’î, 1415

Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh Beirut: Dâr al-Fikr, 1999



[1] Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr Shadr, tt.), Juz I hlm., 519.

[2] Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Âlamîn (Beirut: Dâr al-Jail, tt.), Juz I, hlm., 339.

[3] Muhammad bin Ahmad bin Abdul Azîz Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr (Mekkah: Markâz al-Bahts al-‘Ilmi Jamiah Umm al-Qura’, tt.), juz IV, hlm., 404.

[4] Abdullah bin Ahmad bin Qudâmah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nâzhir wa Jannat al-Munâzhir (Riyadh: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 391.

[5] Ibid, hlm., 392.

[6] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dâr al-Kitab al-Jami’î, 1415), Juz II, hlm., 109.

[7] Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukâb al-Munîr, juz IV, hlm., 407.

[8] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1999), hlm., 116.

[9] Surat al-An’âm: 145.

[10] Muhammad Bin Ahmad Abu Abdullah al-Qurthûbi, Al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’ân (Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts, tt.), Juz VII, hlm., 116.

[11] Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhâri, Shahîh Bukhari (Beirut: Dâr Ibn Katsîr, 1407), Juz I, hlm., 64. Muslim Abu Husain Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahîh Muslim (Kairo: Dâr Ali al-Kutub, 1996), Juz I, hlm., 276.

[12] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 112.

[13] Muhammad Amir Badsyah, Taisir al-Tahrir (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), Juz IV, hlm., 176.

[14] Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh, hlm., 115.

[15] Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul al-Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 116.

[16] Ibn Qudâmah, Raudhah al-Nâzhir, hlm., 391.

[17] Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz XIII, hlm., 121-122.

[18] Ibid, Juz XIII, hlm., 121.

[19] Ibid, Juz XIII, hlm., 122.

[20] Ibid, Juz XXIII, hlm., 16.

[21] Jalâluddîn Abdurrahmân al-Suyûthî, Al-Asybâh wa al-Nazhâir fî Qawâ’id wa Furû’ Fiqh al-Syafî’iyyah (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt.), hlm., 90.

[22] Ibid, hlm., 90.

[23] Ibid, hlm., 95.

[24] Ibid, hlm., 103.